Udara Bekasi Masuk Level Beracun, Berpotensi Picu Stroke dan Kanker Paru-paru
BEKASI, iNewsBekasi.id - Warga Bekasi dan sekitarnya diimbau untuk meningkatkan kewaspadaan. Kondisi udara di wilayah Jabodetabek termasuk Bekasi, kini berada pada tingkat sangat buruk bahkan beracun, memicu peringatan serius dari para ahli kesehatan.
Ahli Kesehatan Lingkungan dari Griffith University Australia, dr Dicky Budiman menyebut situasi ini sudah masuk ke dalam status darurat kesehatan publik. Berdasarkan data pemantauan kualitas udara yang mengacu pada indikator PM2.5 di atas 250 µg/m³, dampaknya bisa sangat fatal jika tidak segera ditangani.
“Jika indikator udara di suatu wilayah menunjukkan angka PM2.5 >250 µg/m³ yang mengacu pada data Nafas Indonesia, itu sudah masuk dalam kategori situasi darurat kesehatan publik,” ujar dr Dicky kepada iNews.id dikutip Selasa (27/5/2025).
Wilayah Bekasi sebagai bagian dari kawasan padat penduduk dan industri di Jabodetabek menjadi salah satu yang paling terdampak. Banyak aktivitas kendaraan bermotor, pabrik, serta minimnya ruang hijau menjadi penyumbang utama polusi yang kini sudah tak bisa dianggap biasa.
Menurut dr Dicky, kondisi ini menuntut perhatian dan tindakan segera dari pemerintah daerah, termasuk Pemerintah Kota Bekasi. Imbauan untuk menggunakan masker berkualitas saja tidak cukup. Dibutuhkan intervensi langsung untuk menyelamatkan kesehatan publik.
“Jika sudah masuk dalam situasi darurat kesehatan publik, perlu respons cepat dari pemerintah dan masyarakat,” tambah dr Dicky.
Selain imbauan penggunaan masker, dr Dicky menyarankan agar layanan pemeriksaan kesehatan gratis mulai dijalankan. Pemerintah daerah juga diminta mengidentifikasi sumber utama polusi, melakukan penanaman pohon secara masif, dan menyediakan ruang terbuka hijau sebagai bentuk intervensi.
“Jika kondisi ini dianggap angin lalu, beban BPJS akan semakin berat. Selain itu, dampak lainnya adalah produktivitas menjadi menurun karena banyak orang yang sakit,” katanya.
Lebih lanjut, dr Dicky menyebut polusi udara sebagai “silent endemic”. Berbeda dengan virus yang terlihat dan bisa langsung dideteksi, polusi udara secara perlahan merusak sistem pernapasan dan menyebabkan kematian dini.
“Tidak terlihat seperti virus, tapi infeksi karena rusaknya saluran pernapasan atas akibat menghirup polusi setiap hari sering kali nggak disadari oleh publik hingga akhirnya kritis,” jelasnya.
“Udara beracun ini bisa menyebabkan fatalitas, terutama bagi anak-anak, lansia, orang dengan asma maupun penderita penyakit jantung,” imbuh dr Dicky.
Dalam jangka panjang, kualitas udara yang buruk akan memicu stroke, kanker paru-paru, dan masalah kesehatan kronis lainnya. Karena itu, tindakan kolektif pemerintah dan kesadaran masyarakat Bekasi sangat dibutuhkan agar krisis ini tidak terus memburuk.
Editor : Eidi Krina Sembiring