Sosok KH Muchtar Thabrani, Ulama Bekasi yang Mengubah Kampung Halaman Jadi Pusat Ilmu!
BEKASI, iNewsBekasi.id- Bekasi kota yang berbatasan dengan Jakarta ini sejak dahulu kala memiliki ulama-ulama masyhur. Salah satunya yakni, KH Muchtar Thabrani.
KH. Muchtar Thabrani dilahirkan pada tahun 1901 di Kaliabang Nangka Bekasi. Ayahnya bernama Thabrani, putra Nirun, putra Muhammad Syukri, berasal dari Banten dan kemudian menetap di Kaliabang Nangka bekasi untuk berdakwah.
KH. Muchtar Thabrani dalam menuntut ilmu berusaha mencari guru-guru yang sudah pakar dalam ilmunya. Beliau mempelajari serta memperdalam bermacam-macam disiplin ilmu diantaranya disiplin ilmu Al-Quran dan ilmu agama lainnya.
KH Muchtar Tabrani belajar ilmu Al-Quran dari Guru Mughni dilanjutkan belajar pada Guru Marzuki Cipinang Muara.
Terbersit di hatinya untuk berangkat ke Tanah Suci guna melaksanakan rukun Islam yang kelima. Keinginan itu tak langsung begitu saja terwujud.
Muchtar membutuhkan waktu enam tahun untuk mengumpulkan uang sebesar Rp3.600 untuk ongkos berangkat haji yang saat itu masih menggunakan kapal laut.
Disela niatnya untuk melaksanakan haji, Muchtar memang sudah berniat untuk tidak kembali secepatnya ke Tanah Air. Pasalnya, karena Muchtar ingin lebih memperdalam ilmu agama di tanah suci.
Tentang rencananya itu, Muchtar tidak memberi tahu semua anggota keluarganya. Bahkan ayahnya pun tidak diberitahu, kecuali Abdurrazzaq, adik kandungnya.
Selama menimba ilmu di Tanah Suci, Muchtar kerap berhadapan dengan kondisi perekonomian yang cukup memprihatinkan. Terlebih Muchtar memang tidak mendapat kiriman bekal dari keluarga di tanah air.
Namun semangatnya untuk belajar tidak pernah surut sedikit pun, hingga menjelang 13 tahun lamanya Muchtar belajar di tanah suci. Satu cerita, Muchtar melakukan ibadah thawaf di Ka’bah Baitullah sambil menghapal Al-Qur’an dan berdo’a, ketika telah selesai dan lelah beliau pun beristirahat dan tertidur dengan kepala beralas sorban.
Setelah beliau bangun, di bawah sorban beliau terdapat uang. Kejadian tersebut terjadi berulang kali. Rupanya rizki itu datang dari para dermawan yang tidak mau diketahui identitasnya.
Para dermawan ini sengaja meletakkan uang tersebut ketika orang sedang tertidur, tetapi tentu saja hanya orang-orang tertentu yang dipilih oleh para dermawan ini, hanya orang-orang dengan kadar Muthathowi’ (orang sholeh) saja uang tersebut diberikan.
Jika dermawan ini bisa membedakan orang-orang yang Muthathowi’ atau bukan tentu saja para dermawan ini bukan orang sembarangan, mereka sebenarnya adalah para dermawan yang juga seorang ulama yang berilmu tinggi.
Di Tanah Suci, Muchtar menimba ilmu kepada beberapa orang guru, yaitu Syeikh Muchtar At-Atharied, Syeikh Ahyad, Syeikh Ali Al Maliki dan beberapa orang guru lainnya. Namun guru yang paling dekat dan paling banyak mempengaruhi pola pikir dan perkembangan keilmuannya adalah Syeikh Ahyad.
Setelah kurang lebih 13 tahun menuntut ilmu di Tanah Suci, Muchtar pun memutuskan untuk kembali ke tanah air setelah mendapat restu dari guru-gurunya. Di saat perjalanan pulang menuju tanah air, ketika beliau masih di dalam kapal laut, Muchtar menerima kabar bahwa ayahnya Pak Thabrani telah berpulang menghadap Allah Swt.
Setelah memiliki pengetahuan yang cukup memadai, Muchtar kembali ke kampung halamannya untuk mengabdikan ilmu dan memulai perjalanan dakwah di kampungnya yang saat itu masih kental dan sarat dengan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Pada saat usianya menjelang 20 tahun, Muchtar telah menjadi tokoh pemuda yang paling disegani di kampungnya. Muchtar telah berhasil mengubah dan meluruskan masyarakat Kaliabang Nangka dari pola hidup yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Ketika itu Kaliabang Nangka masih sangat akrab dengan pengaruh kepercayaan animisme dan dinamisme. Persembahan untuk makhluk halus dan percaya bahwa benda-benda mati mempunyai kekuatan ghaib dan dapat menolong manusia, bukan merupakan pemandangan yang aneh saat itu.
Muchtar terpanggil untuk membenahi aqidah orang kampungnya, yang sudah semakin jauh dari ajaran Islam yang benar. Sedikit demi sedikit Muchtar mulai merubah pola hidup keagamaan di kampungnya.
Pada tahun 1950, Muchtar tiba di Tanah Air disambut sanak keluarga, sahabat, dan masyarakat di kampungnya. Kondisi di Tanah Air pada saat itu telah berada pada keadaan berdaulat.
Sehingga Muchtar dapat kembali ke Tanah Air tanpa ada rintangan apapun di jalan. Dengan oleh-oleh sejumlah kitab yang dipikul oleh dua orang pembantu dan bekal ilmu yang telah meresap pada dirinya, Muchtar tiba di kampungnya, Kaliabang Nangka.
Belum sempat Muchtar beristirahat, Guru Tohir, paman beliau memanggilnya dan meminta Muchtar untuk membaca oleh-oleh kitab yang dibawanya dari Tanah Suci.
Rupanya paman beliau ingin menguji kemampuan Muchtar yang selama urang lebih 13 tahun telah menimba ilmu di Tanah Suci. Muchtar pun menurut dan mulai membaca kitab-kitab tersebut dengan lancar, fasih disertai dengan penjelasan yang cukup baik.
Melihat kepandaian keponakannya itu, Guru Tohir, sanak keluarga, sahabat dan masyarakat yang turut menyaksikan kejadian itu tak sanggup lagi menahan haru dan menitikan airmata. Sesaat kemudian bergemalah kalimat takbir… Allahu Akbar! dari orang-orang yang hadir saat itu.
Sepanjang perjalanan perjuangan dakwah KH. Muchtar Thabrani di tanah air, dari tahun ke tahun murid-murid yang ingin belajar kepada beliau kian bertambah banyak, dari usia anak-anak, remaja, bahkan dewasa.
Mengingat banyaknya murid yang ingin belajar, beliau pun dibantu oleh beberapa murid senior dari hasil didikan beliau yang diangkat menjadi staf pengajar.
Suatu hari berkumpulah beberapa orang murid senior KH. Muchtar Thabrani, diantaranya KH. Alawi, KH. Asmawi, KH. Anwar, KH. Abdullah, Guru Asmat dan Guru Jenih.
Dari hasil musyawarah keenam murid senior yang merupakan staf pengajar tersebut, tercapailah sebuah kesepakatan bahwa seluruh santri yang mengaji pada keenam staf pengajar tersebut akan diseleksi secara khusus.
Bagi santri yang lulus seleksi, maka santri tersebut dapat mengaji dibawah bimbingan langsung Syekh KH. Muchtar Thabrani. Maka terpilihlah sekitar 20 orang santri (angkatan pertama) yang berhak mengaji langsung pada KH Muchtar Thabrani.
Sementara santri-santri yang lain, yang masih tingkat dasar mengaji pada keenam staf pengajar tadi.
Di tahun 1951, KH Muchtar Thabrani mendirikan sebuah Pondok Pesantren yang diberi nama “Pondok Pesantren Kaliabang Nangka” yang diambil dari nama kampungnya tersebut. Pondok Pesantren inilah yang nantinya menjadi cikal bakal berdirnya Pondok Pesantren Annur yang dikenal sekarang.
Tahun 1950, KH. Muchtar yang telah berusia sekitar 41 tahun menikah dengan Hj. Ni’mah Ismail gadis berusia 14 tahun anak dari Guru H. Ismail Tanah Rendah Jakarta.
Ketika itu beliau meminta dua orang sahabatnya, KH. Nur Ali (Ujung Harapan) dan KH. Tambih (Kranji) yang membantu dalam proses lamaran hingga acara pernikahan.
Dari pernikahan ini beliau dikaruniai 4 putra dan 3 putri, yaitu: (Almagh) KH. Aminuddin Muchtar, (Almagh) KH. Aminulloh Muchtar BA, KH. Ishomuddin Muchtar Lc, (Almagh) KH. Ishomulloh Muchtar M.Ed, Ustj. Dr. Hj. Hannanah Muchtar MA, Ustj. Hj. Nurhamnah Muchtar Lc, dan Ustj. Yayah Inayatillah Muchtar SH.
KH. Muchtar Thabrani biasa mengajar santri-santrinya sambil bekerja di kebun. Santri membaca kitab sementara beliau menyimak bacaan santri sambil menyabuti rumput liar yang tumbuh di kebun kangkung, cengkeh dan jeruk miliknya.
Disamping mengajarkan ilmu agama kepada para santri, beliau juga mengajarkan para santri keterampilan hidup seperti mengelola hasil tanam di kebun sebagai tambahan penghasilan. Jika panen tiba, santri-santrinya lah yang membawa hasil panen tersebut ke pasar.
Selama mengajar santrinya, KH. Muchtar Thabrani dikenal cukup tegas dan keras. Hal itu sebagai bentuk gemblengan agar para santri belajar dengan sungguh-sungguh dan tekun.
Namun, ada saja santri yang akhirnya putus dijalan karena kurang sungguh-sungguh dan mentalnya yang loyo. Dari 20 orang santri angkatan pertama yang mengaji pada beliau, kini tinggal sekitar 10 orang santri yang betul-betul tekun mengaji hingga tuntas dan mendapat ijazah dari beliau.
Dan terbukti, santri-santri yang benar-benar tekun mengaji pada beliau kini telah meneruskan perjuangan beliau dan telah banyak mendirikan Pondok Pesantren, madrasah dan majlis ta’lim. Diantaranya KH. Asmawi Bulak Sentul, KH. Mughni Rawa Bugel, KH. Alawi dan lain-lain.
Angkatan selanjutnya, termasuk di dalamnya putra-putri beliau, KH. Muchtar Thabrani tetap konsisten dengan sikap tegas dan kerasnya di dalam mengajar.
Boleh jadi, putra-putri beliau yang saat itu masih kecil-kecil telah dapat menghapal Al-Qur’an sebanyak 30 juz. Sehingga semua putra-putri beliau kini berhasil menjadi orang-orang yang ‘alim, orang yang memiliki ilmu yang tinggi dan meneruskan perjuangan beliau.
Di antaranya yaitu (Almagh) KH. Aminuddin Muchtar, (Almagh) KH. Aminulloh Muchtar BA, KH. Ishomuddin Muchtar Lc, (Almagh) KH. Ishomulloh Muchtar M.Ed, Ustj. Dr. Hj. Hannanah Muchtar MA, Ustj. Hj. Nurhamnah Muchtar Lc, dan Ustj. Yayah Inayatillah Muchtar, SH.
Beberapa hal yang tak pernah lepas dari KH. Muchtar Thabrani adalah, beliau tidak pernah sedikitpun lepas dari ikat sorbannya. Pada saat mengajar atau pun saat keluar dari rumahnya, beliau selalu terlihat dengan ciri khasnya itu.
Beliau juga orang yang sangat penyayang pada bintang. Pada saat beliau hendak menaiki becak yang menjemput beliau, ada satu semut terlihat berada di jok becak itu. Beliau lalu mengambil semut itu dan memindahkannya di batang pohon, setelah itu barulah beliau menaiki becak tersebut.
Beliau juga orang yang dikenal tak pernah lepas dari salam dan doanya bila berjumpa dengan orang, kendati kepada anak kecil sekalipun. Beliau selalu berucap, “Assalamu’alaikum ….. mudah-mudahan barokah…”
KH. Muchtar Thabrani juga dikenal dengan orang yang gemar berderma, padahal beliau sendiri adalah orang yang hidupnya sangat sederhana. Saking dermawannya beliau, banyak orang yang malah memanfaatkan kedermawanannya itu demi kepentingan pribadi.
Suatu ketika seorang pedagang tempayan yang sedang memikul dagangannya bertemu dengan Syekh KH. Muchtar Thabrani, saat itu juga Syekh KH. Muchtar Thabrani pun memberi salam kepadanya, “Assalamu’alaikum … mudah-muudahan barokah…”.
Tidak berapa lama setelah perjumpaan itu, barang dagangan yang dipikulnya itu tiba-tiba saja habis terjual tidak seperti hari-hari biasanya.
Tetapi satu hari pedagang tersebut tidak menjumpai KH. Muchtar Thabrani, dan anehnya penjualan barang dagangannya tidak selaris hari kemarin. Karena penasaran, esoknya pedagang ini pun berangkat pagi-pagi sekali menuju kediaman KH. Muchtar, dengan harapan berjumpa dengan sang Kiyai dan mendapat ucapan salam dan doa berkah dari beliau.
Pedagang ini pun berdiri di depan kediaman Kiai, menunggu Kiai keluar dari rumahnya. Tidak lama keluarlah KH. Muchtar Thabrani dari rumahnya. Melihat ada seorang tamu berdiri di depan rumahnya, KH. Muchtar Thabrani memberi salam kepadanya, dengan ucapan seperti biasanya, “Assalamu’alaikum … mudah-muudahan barokah…” lalu mengajak tamu tersebut untuk masuk ke dalam rumahnya.
Tetapi pedagang itu menolak dengan halus, dan mengatakan bahwa ia hendak berangkat keliling kampung untuk menjual barang dagangannya. Tak lama setelah itu, tak disangka barang dagangannya pun habis terjual dalam waktu yang tidak terlalu lama. Begitulah karomah ucapan salam beliau.
Lain lagi dengan seorang kaya yang juga murid KH. Muchtar Thabrani, setiap satu bulan sekali orang tersebut selalu menyediakan dua buah amplop berisi isi uang. Niatnya, amplop yang isinya lebih besar akan diberikan untuk istri mudanya, sedangkan amplop yang isinya lebih kecil akan diberikan pada KH. Muchtar Thabrani.
Ketika orang tersebut menemui KH. Muchtar Thabrani, justru malah amplop yang isinya lebih besarlah yang diberikan kepada KH. Muchtar Thabrani. Sementara amplop yang isinya lebih kecil malah diberikan pada istri mudanya. Kejadian itu terjadi berkali-kali, padahal niat awalnya tidak demikian.
Satu saat beliau pulang mengajar dari satu tempat bernama Kelapa Gading, di tengah perjalan pulang dari kejauhan beliau dihadang segerombolan perampok yang meminta seluruh harta bawaan beliau.
Namun beliau tetap tenang dan mengucapkan salam kepada segerombolan prampok tersebut. Para perampok itu pun menjawab salam beliau, dan anehnya tangan mereka seketika bergetar ketika KH. Muchtar Thabrani membagikan pisang kepada segerombolan perampok itu.
Setelah itu KH. Muchtar Thabrani pergi meninggalkan mereka, dan anehnya tak satu pun dari gerombolan prampok itu bisa menggerakan kakinya, semua hanya diam terpaku melihat beliau pergi.
KH. Muchtar Thabrani pun melanjutkan perjalanan pulang dengan lenggang kangkung. Begitu lah kehebatan dan keistimewaan salam.
Begitu banyak keistimewaan yang ada pada diri KH. Muchtar Thabrani, sampai-sampai ada satu orang laki-laki yang menderita impoten pun menemui beliau dan meminta didoakan agar penyakit impotennya dapat sembuh.
Saat itu KH. Muchtar Thabrani hanya menyuruh orang tersebut mengamalkan bacaan “Ya Qowwiy, Ya Matin”. Satu minggu kemudian orang tersebut datang lagi, mengabarkan bahwa penyakitnya sudah sembuh.
Beberapa karya yang sempat beliau tulis adalah: “Targhiib Al-Ikhwan fii fadhillah ‘ibaadaati Rajab wa sya’baan wa Ramadhaan, Tanbiih Al-Ghafiil fii At-Taththawu’aat wa Al-‘ibaadaat wa An-Nawaafil, Da’watul Ummah Ila Mahabbati Ali An-Nubuuwati, Is’aful ghofiliin Al Mutkhayiriin Wa At- Tholibiin dan lain-lain.
Sekian tahun sudah KH. Muchtar Thabrani mengajar, dan telah memiliki banyak murid yang tersebar diberbagai pelosok, akhirnya, tiba waktunya bagi beliau beristirahat untuk selama-lamanya. Pada Tahun 1971, beliau wafat dengan penyakit kanker di leher.
Sebelum wafat, beliau sempat mengumpulkan putra-putrinya untuk membaca surat Yasin. Surat Yasin selesai, dilanjutkan surat tabarok (Al-Mulk), setelah selesai beliau meminta putra-putrinya untuk mencium tangannya satu-persatu. Saat ciuman terakhir putrinya, beliau pun wafat dengan wajah berseri-seri.
Setelah kewafatannya, murid-murid, sahabat, maupun orang yang hanya mendengar ke’aliman beliau datang dari berbagai daerah guna berziarah ke makam beliau dan berdoa.
Kini Pondok Pesantren yang pernah beliau rintis, yang sekarang menjadi Pondok Pesantren Annur tetap teguh berdiri dalam memperjuangkan dakwah Islam, guna membentuk kader-kader Kiai yang berwawasan Intelektual; Intelektual yang berwawasan Kiyai.
Sebagai penghormatan dan penghargaan masyarakat atas perjuangan dakwah beliau, nama KH. Muchtar Thabrani pun diabadikan sebagai nama jalan di Kaliabang Nangka Bekasi Utara.
Editor : Wahab Firmansyah