get app
inews
Aa Text
Read Next : FSI DPR RI PKB Tempuh 12 Jam untuk Salurkan Bantuan Banjir ke Tapanuli Selatan

Tragedi Ledakan SMAN 72, Anggota DPR Selly Gantina Desak Penguatan Sekolah Ramah Anak

Minggu, 09 November 2025 | 12:27 WIB
header img
Anggota Komisi VIII DPR RI, Selly Andriany Gantina. Foto/Istimewa

JAKARTA, iNewsBekasi.id- Anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Selly Andriany Gantina, menyampaikan keprihatinan mendalam atas tragedi ledakan di SMA Negeri 72 Jakarta, Kelapa Gading, Jakarta Utara, yang terjadi pada Jumat (7/11/2025).

Peristiwa tragis tersebut menyebabkan 54 orang terluka, sebagian besar siswa, yang kini masih menjalani perawatan di sejumlah rumah sakit di Jakarta. Berdasarkan laporan awal kepolisian, pelaku pengeboman diduga siswa berusia 17 tahun yang mengalami tekanan sosial dan perundungan (bullying) di lingkungan sekolah.

Selly menilai, insiden ini bukan hanya bencana fisik, tetapi juga meninggalkan luka psikologis mendalam bagi seluruh ekosistem sekolah.

“Kita tidak hanya bicara soal luka tubuh, tetapi juga luka batin. Anak-anak, guru, orang tua, bahkan petugas sekolah bisa mengalami trauma. Karena itu, penanganannya tidak boleh sepotong-sepotong, harus menyeluruh, lintas aspek, dan lintas instansi,” ujar Selly dalam keterangan persnya, Minggu (9/11/2025).

Politisi PDI Perjuangan itu menyebut tragedi tersebut sebagai peringatan serius bahwa banyak sekolah di Indonesia belum sepenuhnya menjadi ruang aman bagi anak. Ia juga menyoroti pandangan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang menilai pelaku kurang mendapat perhatian dari orang tua dan sekolah. Namun, menurutnya, persoalan ini perlu dilihat sebagai masalah sistemik dalam ekosistem perlindungan anak.

“Masalahnya bukan hanya di rumah atau di sekolah, tapi di ekosistem perlindungan anak yang belum bekerja optimal. Anak kehilangan ruang aman untuk bicara, kehilangan telinga yang mau mendengar,” tegasnya.

Mantan Wakil Bupati Cirebon itu mengingatkan bahwa banyak anak kini melampiaskan rasa terasing dan kegelisahan di ruang digital, di mana konten ekstrem dapat dengan mudah menjerumuskan.

“Jika sekolah tidak ramah dan rumah tidak menjadi tempat curhat, maka media sosial mengambil alih fungsi pendidikan emosional anak. Itu yang berbahaya,” jelasnya.

Sebagai anggota DPR yang membidangi isu sosial, keagamaan, dan perlindungan anak, Selly menegaskan bahwa penanganan pascatragedi tidak cukup hanya secara medis. Ia menilai, trauma akibat peristiwa tersebut bersifat komunal, tidak hanya dirasakan oleh korban langsung.

“Anak yang tidak terluka pun bisa trauma. Guru, staf, hingga orang tua juga terdampak secara psikis. Maka, pemulihan psikotraumatik harus dilakukan menyeluruh, bukan selektif,” ujarnya.

Untuk itu, Selly mendorong Kementerian PPPA, Dinas Pendidikan, dan KPAI segera membentuk Tim Respon Krisis Sekolah yang melibatkan psikolog, guru bimbingan konseling (BK), serta perwakilan orang tua. Tim tersebut diharapkan mampu melakukan asesmen psikologis dan menyusun program pemulihan kolektif di lingkungan sekolah.

Selain itu, ia menilai perlu adanya evaluasi menyeluruh terhadap konsep Sekolah Ramah Anak, yang hingga kini dinilai belum memiliki indikator terukur dan mekanisme pengawasan yang kuat.

“Ramah anak bukan sekadar slogan di dinding sekolah. Itu harus nyata dalam sistem: ada kanal aduan yang aman, ada pendidikan anti-bullying, serta ruang dialog antara anak, guru, dan orang tua,” tuturnya.

Selly juga menekankan pentingnya literasi digital dan komunikasi empatik bagi orang tua agar mampu mengenali tanda-tanda distress pada anak.

“Banyak orang tua tidak sadar, perubahan kecil pada perilaku anak bisa menjadi sinyal bahaya. Karena itu, mereka perlu dibekali kemampuan komunikasi yang peka,” pungkasnya.

 

Editor : Wahab Firmansyah

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut