get app
inews
Aa Text
Read Next : Atraksi Pemberian Makan Gorila jadi Magnet Liburan di Ragunan, Pilihan Wisata Edukatif

Mau Ikut Rayakan Tahun Baruan? Begini Pendapat para Ulama

Selasa, 30 Desember 2025 | 08:29 WIB
header img
Merayakan Tahun Baru kerap dilakukan sebagian masyarakat. Foto: Istimewa

BEKASI, iNewsBekasi.id – Merayakan Tahun Baru kerap dilakukan sebagian masyarakat dengan melakukan berbagai aktivitas, dari mendatangi tempat keramaian, seperti konset music, menyalakan kembang api hingga bakar ikan. Lalu, bagaimana pandangan Islam tentang ikut merayakan pesta Tahun Baru?

Hukum merayakan tahun baru Masehi menurut Islam menarik diulas karena banyak umat Islam yang belum mengetahui.

Dikutip laman unesa.ac.id, perayaan Tahun Baru tertua yang tercatat dalam sejarah sebenarnya tidak dilakukan pada Januari. Sekira 4.000 tahun yang lalu, bangsa Babilonia kuno merayakan Tahun Baru pada bulan pertama musim semi (sekitar akhir Maret) melalui festival Akitu.

Festival ini berlangsung selama 11 hari dan terkait erat dengan siklus pertanian serta pelantikan raja baru. Bagi mereka, pergantian tahun adalah tentang kelahiran kembali alam setelah musim dingin.

Sementara, pergeseran ke tanggal 1 Januari dimulai pada era Romawi. Awalnya, kalender Romawi hanya memiliki 10 bulan (304 hari) dan dimulai pada bulan Martius (Maret). Namun, raja kedua Roma, Numa Pompilius, menambahkan bulan Januarius dan Februarius.

Pada tahun 46 SM, Kaisar Julius Caesar memperkenalkan Kalender Julian. Ia menetapkan 1 Januari sebagai awal tahun untuk menghormati Janus, dewa Romawi bermuka dua. Satu wajah Janus menatap ke masa lalu, dan wajah lainnya menatap ke masa depan—simbol sempurna untuk pergantian tahun. Lantas, apakah boleh merayakan Tahun Baru masehi menurut Islam? Berikut ulasan lengkapnya.

Hukum Merayakan Tahun Baru Masehi Menurut Islam

Pada dasarnya hukum merayakan Tahun Baru selain Hijriyah berdasar pendapat para ahli merupakan masalah khilafiyyah sebagaimana dilansir dari laman Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah-KTB. Di antara alasan yang membolehkan adalah hukum boleh dengan syarat di antaranya:

Memenuhi tujuan-tujuan sosial dan kebangsaan yang ditolelir oleh syara' dan 'urf (kebiasaan)

Kebolehan tersebut jika diisi dengan mengingat nikmat Allah saat berputarnya waktu dengan berbagai kebaikan dan shilaturrahim serta manfaat lainnya baik ekonomi maupun kemasyarakatan.

Tasyabbuh dalam perayaan tahun baru dalam hal yang menyangkut kemaslahatan masyarakat selama bukan menetapkan aqidah yang selain aqidah Islam adalah diperbolehkan. Tetapi sebaliknya jika merayakan tahun baru Maséhi dihubungkan dengan natal yang notabene didasarkan pada keyakinan nashrani maka jelas hal itu terlarang. Karena ada unsur bermusyarokah dalam peribadatan.

Segi tasyabbuh selama bukan yang bertalian dengan masalah akidah sebagian Ulama membolehkan.

Dengan demikian, perayaan tahun baru masehi merupakan salah satu tradisi yang tidak berkaitan dengan agama. Sehingga bagi seorang muslim diperbolehkan merayakan tahun baru masehi selama tidak mengandung hal-hal yang diharakam seperti melakukan kemaksiatan.

Direktur Rumah Fiqih Indonesia (RFI) Ustaz Ahmad Sarwat MA menjelaskan, ada sekian banyak pendapat yang berbeda tentang hukum merayakan tahun baru masehi. Sebagian mengharamkan dan sebagian lainnya membolehkannya dengan syarat.

Menurut ahmad Sarwat, ulama yang mengharamkan perayaan tahun baru karena menyerupai orang Non-muslim Meski barangkali ada yang berpendapat bahwa perayaan malam tahun tergantung niatnya, namun paling tidak seorang muslim yang merayakan datangnya malam tahun baru itu sudah menyerupai ibadah orang non-muslim.

Adapun ulama yang menghalalkan perayaan tahun baru berangkat dari argumentasi bahwa perayaan malam tahun baru masehi tidak selalu terkait dengan ritual agama tertentu. Semua tergantung niatnya.

Kalau diniatkan untuk beribadah atau ikut-ikutan orang non-muslim maka hukumnya haram. Tetapi tidak diniatkan mengikuti ritual kaum non-muslim, maka tidak ada larangannya.

Mereka mengambil perbandingan dengan liburnya umat Islam di hari Natal. Kenyataannya setiap ada tanggal merah di kalender karena Natal, tahun baru, kenaikan Isa, Paskah dan sejenisnya, umat Islam pun ikut-ikutan libur kerja dan sekolah. Bahkan bank-bank syariah, sekolah Islam, pesantren, Kementerian Agama dan institusi-institusi keIslaman lainnya juga ikut libur.

Umumnya akan menjawab bahwa hal itu tergantung niatnya. Kalau diniatkan untuk merayakan, maka hukumnya haram. Tapi kalau tidak diniatkan merayakan, maka hukumnya boleh-boleh saja.

Demikian juga dengan ikut perayaan malam tahun baru, kalau diniatkan ibadah dan ikut-ikutan tradisi kaum non-muslim, maka hukumnya haram. Tapi bila tanpa niat yang demikian, tidak mengapa hukumnya.

Adapun kebiasaan orang-orang merayakan malam tahun baru dengan minum khamar, zina dan serangkaian maksiat, tentu hukumnya haram. Namun bila yang dilakukan bukan maksiat, tentu keharamannya tidak ada. Yang haram adalah maksiatnya, bukan merayakan malam tahun barunya.

Misalnya, umat Islam memanfaatkan even malam tahun baru untuk melakukan hal-hal positif, seperti memberi makan fakir miskin, menyantuni panti asuhan, membersihkan lingkungan dan sebagainya.

Demikian perbedaan pandangan dari beragam kalangan tentang hukum merayakan tahun baru masehi menurut Islam.

Wallahu a'lam bishshawab

Editor : Tedy Ahmad

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut