PADANG,iNews.id – Keterbatasan ekonomi orangtua bukan berarti tertutup pintu mendapatkan pendidikan setinggi mungkin. Inilah yang dialami Siska Hamdani, berasal dari keluarga sederhana di Kabupaten Solok, Sumatera Barat.
Keterbatasan ekonomi tak membuat Siska patah semangat, hingga akhirnya sukses mengejar cita-citanya, meraih gelar PhD di Prancis dan meniti karier di Negeri Mode itu.
Ayah Siska Hamdani adalah penjahit pakaian di Nagari Guguk, Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok. Sukses Perempuan kelahiran 25 Januari 1980 itu telah menunjukkan prestasi gemilang ketika menempuh pendidikan SDN 01 Jawi-Jawi di Kabupaten Solok dengan meraih juara umum di sekolahnya.
Anak dari pasangan Yulizar (69) dan almarhumah Yasma Erni itu tamat SD pada 1992. Siska melanjutkan sekolah ke SMP 3 Gunung Talang. Di SMP, ia berhasil meraih juara umum dan juga sering dilibatkan pihak sekolah untuk mengikuti lomba P4 tingkat provinsi dan lomba lomba pidato Bahasa Inggris.
Kisah Pemuda 17 Tahun Bangun Bisnis dan Jadi Miliarder Menyelesaikan SMP pada 1995, Siska kemudian melanjutkan sekolah ke Kota Padang, yaitu Sekolah Menengah Analisis Kimia Padang (SMAKPA).
Di sekolah yang berada di bawah Kementerian Perindustrian itu, Siska juga mendapatkan beasiswa gratis uang SPP, karena meraih juara umum sejak dari catur wulan III. Saat masuk SMAKPA tak sedikit cemooh dari orang kampung yang ia terima.
Setelah menamatkan pendidikan di SMAKPA ia pun melanjutkan kuliah ke Akademi Teknologi Industri Padang (ATIP). Di kampus ATIP Siska mendapatkan beasiswa semester gratis dari Bumi Asih, karena meraih nilai IP rata-rata 3,98 hingga 4,0. Bahkan, berkat kecerdasan yang dimilikinya, ia berhasil menamatkan kuliah dalam waktu 2,5 tahun dari rata-rata masa kuliah di ATIP empat tahun.
Setelah tamat dari ATIP, ia banyak mendapat nasihat dari orang-orang hebat yang merupakan akademisi di Unand, seperti Prof Novesar Jamarun, yang pernah menjadi Pembantu Rektor I Unand 2006-2010, dosen jurusan kimia Unand Zam Sibar dan almarhum Rusdi Jamal yang pernah menjadi Wakil Rektor I Unand.
“Mereka menyarankan saya untuk melanjutkan kuliah ke Universitas Gadjah Mada. Dengan senang hati, saya pun kemudian mengikuti saran tersebut,” kata dia, Minggu (31/10/2021). Namun, upaya Siska untuk bisa kuliah terbentur dengan kondisi ekonomi orang tua yang pas-pasan, karena hasil dari pekerjaan sang ayah sebagai penjahit pakaian yang nyambi menjadi petani ladang, hanya mampu untuk biaya kebutuhan sehari-hari keluarga dan juga biaya sekolah dua orang adik-adiknya.
Gayung bersambut, tiga orang temannya yang alumni SMAKPA bernama Ari Satriawan, Basri Hamdani dan Andre yang saat itu sudah bekerja di Jakarta, patungan untuk meminjamkan uang sebesar Rp4 juta untuk biaya masuk UGM. Tahun 2002, Siska pun masuk sebagai mahasiswi baru di jurusan Kimia Fakultas MIPA UGM.
Di tahun kedua kuliah, Siska lagi-lagi terbentur persoalan ekonomi keluarga, karena orang tuanya tidak punya uang untuk membayar biaya. “Papa begitu sedih saat itu. Saya di tanah rantau ketika itu juga panik memikirkan uang kuliah. Setiap hari saya berdoa kepada Allah SWT agar diberi kemudahan,” ujarnya melansir Antara.
Berkat beasiswa itulah ia bisa menyelesaikan kuliah di UGM pada 2004 dan ia merasa belum tentu bisa bekerja dan menetap di Paris jika tak ada beasiswa tersebut. Kuliah di luar negeri Setelah tamat dari UGM, Siska kemudian diterima bekerja di Buckman Laboratories (Asia) Pte Ltd, sebuah perusahaan multi internasional asal Amerika. Kuliah di luar negeri Setelah tamat dari UGM, Siska kemudian diterima bekerja di Buckman Laboratories (Asia) Pte Ltd, sebuah perusahaan multi internasional asal Amerika.
Oleh perusahaan, ia ditempatkan sebagai Sales Technical Support untuk PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau, selama enam bulan. Kemudian di pertengahan 2005, ia mendapat tawaran tiga program beasiswa S2, yaitu beasiswa program inpex scholarship di Jepang, beasiswa France Excellence di Ecole Nationale Supérieure de Chimie de Montpellier dan beasiswa dari Buckman Laboratories di Mervis, Amerika.
Dari ketiga beasiswa tersebut, Siska mantap memilih beasiswa France Excellence, karena keahlian kimia di Prancis sangat terkenal di dunia. “Selain karena keahlian kimia Prancis sangat dikenal, motivasi saya kuliah di Prancis juga ingin belajar bahasa Prancis, karena kalau untuk Bahasa Inggris saya sudah fasih,” kata Siska.
Setelah menyelesaikan program master di Ecole Nationale Supérieure de Chimie de Montpellier dengan skala 18,5 dari 20, pada 2007 Siska kemudian melanjutkan program PhD (setingkat doktor) Doctorat en physico-chimie des matériaux polymères atau spesialis bidang polimer untuk kabel tegangan tinggi di Université Montpellier II. Ayah Siska, Yulizar mengaku bersyukur dan bangga atas kesuksesan anak sulungnya itu.
Dia dan istrinya sempat melarang Siska untuk melanjutkan kuliah ke Prancis, karena penghasilan Siska saat bekerja di perusahaan Amerika setelah lulus dari UGM sangat besar, yakni sekitar 1.000 dolar Amerika Serikat. “Karena Siska tetap gigih pada pendiriannya, saya dan mamanya merestui keingingan Siska untuk kuliah di Prancis,” katanya.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait