BEKASI, iNewsBekasi.id - Drama pernikahan siri Inara Rusli dan Insanul Fahmi menjadi heboh. Tidak itu saja, Insanul Fahmi ternyata masih memiliki istri sah, Wardatina Mawa.
Inara pun menolak keras menjadi istri kedua, sekaligus ingin menjaga hati dan perasaan istri sah Insanul, Wardatina Mawa. Tim kuasa hukum Inara Rusli, Putra Kurniadi dan Andi Taslim mengungkapkan klien memilih mundur secara tegas.
Skandal ini bermula saat Insanul Fahmi pertama kali mengaku single, lalu beralih menyatakan dia telah menalak dua istrinya. Kebohongan demi kebohongan itu akhirnya terbongkar dan membuat Inara mengambil sikap tanpa kompromi.
Nikah siri pun menjadi sorotan. Masih banyak yang belum paham dengan perkawinan bawah tangan ini dalam Islam. Dikutip dari berbagai sumber, berikut penjelasannya.
Nikah Siri dalam Islam
Nikah siri lazim disebut dengan nikah di bawah tangan. Mengutip Buku Nikah Siri yang ditulis Vivi Kurniawati, pernikahan lazimnya dilakukan dengan menyebarkan undangan untuk memberitahukan khalayak. Namun, tidak sedikit yang memiliki nikah siri dengan alasan tertentu.
Dalam Kamus KBBI, nikah siri adalah pernikahan yang hanya disaksikan seorang modin atau pengurus masjid dan saksi tidak melalui Kantor Urusan Agama (KAU).
Secara etimogi, kata siri berasal dari bahasa Arab yaitu Sirrun yang berarti rahasia, sunyi, diam, tersembunyi. Lawan katanya yakni, 'alaniyyah yakni terang-terangan. Melalui akar kata ini, nikah siri diartikan sebagai nikah secara diam-diam.
Ada beragam faktor nikah siri di antaranya masalah biaya karena tidak mampu membayar administrasi pencatatan nikah, ada juga yang karena takut tercatat di KAU lantaran terbentur aturan tempat kerja misalnya PNS yang dilarang menikah lebih dari satu tanpa adanya seizin pengadilan atau sebab lainnya.
Apakah Nikah Siri Sama dengan Zina
Nikah siri tidak sama dengan zina karena hukum perkawinan tersebut sah secara agama. Berbeda dengan zina yang dilakukan di luar ikatan pernikahan sah. Namun, nikah siri dapat memicu dosa bagi pelakunya.
Prof Dr Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Perbagai Persoalan Umat sebagaimana dilansir dari LP Maarif NU Jateng, nikah siri atau nikah di bawah tangan/nikah yang tidak tercatat di Kantor Urusan Agama/nikah siri memang dinilai sah oleh hukum agama, namun pernikahan jenis ini dapat memicu dosa bagi pelakunya. Dosa yang dimaksud adalah cara pelaku melanggar kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah selaku ulil amri (pemimpin).
Mencegah Korban dari Nikah Siri Lebih Diutamakan daripada Mencari Manfaat dari Nikah Siri Selain faktor ketidakpatuhan rakyat terhadap kebijakan pemerintah, nikah siri perlu dihindari karena akan menimbulkan pelbagai dampak negatif.
Pernyataan ini mengamini bunyi kaidah fikih yang dijelaskan oleh Syekh Jalaluddin as-Suyuthi di dalam al-Asybah wa an-Nadhair fi Qawaid wa Furu’i Fiqh asy-Syafi’iyyah, bahwa menghindari bahaya lebih diutamakan daripada mendatangkan kebaikan. Diperkuat dengan kaidah yang lain bahwa kebijakan pemerintah pada dasarnya ingin menjamin kemaslahatan rakyatnya. Oleh sebab itu, kebijakan pemerintah dalam menetapkan agar setiap pernikahan dilaporkan kepada Kantor Urusan Agama (KUA) adalah untuk menjamin hak-hak yang dimiliki oleh rakyatnya.
Jika direnungi lebih dalam, nikah siri sejatinya lebih menjanjikan banyak masalah yang akan bermunculan kemudian daripada kemaslahatan yang diidam-idamkan. Dalih menghindari zina pada akhirnya hanya akan menjelma bayangan semu, sedang segala kerugian yang datang secara perlahan adalah realitas yang tak bisa dibantah.
Dampak negatif dari nikah siri cenderung lebih dirasakan pihak perempuan sebagai seorang istri yang harus ‘terus-terusan bersembunyi’ dan pihak sang anak kelak yang juga akan mengalami tekanan secara psikologis serta sosial.
Sebagian besar pasangan yang memutuskan untuk melakukan nikah siri adalah laki-laki yang ingin melakukan poligami, tetapi tidak mendapatkan izin dari istri. Karena menikah secara resmi (terdaftar di Kantor Urusan Agama) memerlukan izin dari istri, maka nikah sirilah yang menjadi solusi.
Ketika nikah siri telah terjadi, maka sang istri siri akan menjadi istri dengan predikat ‘jarang’. Maksudnya, akan menjadi istri yang jarang diajak menemani suami ke suatu acara; menjadi istri yang jarang mendapatkan waktu bersama suami karena takut dicurigai oleh istri pertama; hingga menjadi istri yang jarang mendapatkan pelukan dan perhatian.
Hukum Nikah Siri dalam Islam
Dalam perspektif hukum Islam, nikah siri adalah sah atau legal dan dihalalkan atau diperbolehkan jika syarat dan rukun nikahnya terpenuhi pada saat praktik nikah siri dilakukan.
Sebagaimana dalam persepktif Mazhab Syafi'i, rukun nikah yang harus terpenuhi dalam sebuah perniakhan yakni:
1. Adanya kedua mempelai (laki-laki dan perempuan)
2. Adanya wali nikah (ayah kandung calon mempelai perempuan sebagai pihak yang melakukan ijab)
3. Saksi minimal dua laki-laki yang adil
4. Ijab kabul (akad nikah)
Terkait hukum nikah siri ini, para ulama empat mazhab berbeda pendapat.
Ulama mazhab Maliki berpendapat bahwa nikah siri atau nikah yang dirahasiakan karena sesuatu hal misalnya takut kena sihir maka tidak haram dan tidak perlu dibatalkan.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa nikah siri diharamkan karena berpendapat pada hadits Nabi SAW bahwa pernikahan itu mengharuskan adanya penyiaran atau kabar ke masyarakat.
Mazhab Syafi'i juga berpendapat bahwa tidak membolehkan nikah siri. menyiarkan pernikahan itu lebih baik.
Sedangkan mazhab Hambali, nikah siri yang dilakukan sesuai ketentuan syariat adalah sah meski dirahasiakan. Meski demikian, mazhab Hambali menghukuminya makruh.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa hukum nikah siri dalam Islam boleh dan sah selama masih memenuhi ketentuan syariat dan rukun nikah. Kendati demikian, sangat dianjurkan agar pernikahan digelar dan diumumkan menurut jumhur ulama. Hal ini mengacu pada hadits Nabi SAW. "Umumkan pernikahan ini, jadikan tempatnya di masjid dan pukulkan atasnya duff (rebana-rebana)". (HR. Tirmidzi).
Syarat Nikah Siri
Nikah siri dapat dikatakan sah jika memenuhi beberapa syarat-syarat berikut ini:
1. Kedua calon pasangan beragama Islam.
2. Memenuhi rukun pernikahan dalam islam yakni adanya mempelai pria, mempelai wanita, wali nikah, dua orang saksi, dan diucapkannya ijab kabul.
3.Tidak melakukan nikah siri dalam paksaan.
4. Mempelai perempuan telah mendapatkan izin nikah dari wali yang sah.
5. Mempelai laki-laki belum memiliki 4 orang istri.
6. Calon mempelai perempuan bukan istri orang atau tidak dalam masa iddah.
7. Calon istri atau suami yang akan dinikahi adalah bukan mahramnya.
8. Jika statusnya janda/duda, maka harus menunjukkan surat cerai maupun telah melewati masa iddah.
9. Jika calon mempelai wanita adalah janda yang ditinggal mati, maka wali hakim akan meminta pengakuan lisan yang sifatnya mengikat dan disaksikan oleh saksi.
10. Kedua calon mempelai menunjukkan KTP atau paspor dengan foto dan informasi identitas diri yang jelas.
11. Membawa atau memperlihatkan mahar.
12. Ada satu orang wali laki-laki dan dua orang saksi yang adil.
13. Wali memiliki enam syarat: Beragama Islam, sudah akil baligh, bukan hamba sahaya dan adil
14. Tidak dilakukan dalam keadaan ihram atau umrah.
Tata Cara Nikah Siri
Berikut tata cara nikah siri yang bisa dibilang lebih sederhana dibandingkan dengan pernikahan resmi:
1. Calon suami telah mendapatkan izin dari wali nikah yang sah dari pihak perempuan. Jika tidak mendapatkan hal tersebut, maka nikah siri hukumnya tidak sah.
2. Dari masing-masing mempelai pria maupun perempuan bisa menghadirkan dua orang yang bertugas sebagai saksi.
3. Untuk menjalankan pernikahan ini, perlu adanya mahar atau mas kawin.
4. Proses ijab kabul nantinya dipimpin oleh pemuka agama atau penghulu.
Editor : Tedy Ahmad
Artikel Terkait
