"Selama ini kita selalu kehilangan kesempatan untuk memperoleh nilai tambah dari pengelolaan nikel kita. Ada banyak kendala yang kita hadapi dalam mempercepat hilirisasi, mulai dari teknologi yang masih terbatas dan pendanaan yang tidak tersedia, sehingga kita menjual bahan mentah. Namun dengan implementasi UU Minerba, hilirisasi ini telah memberikan perubahan, dimana nilai tambah dari ekspor nikel sudah mencapai USD 20 miliar, jauh berbeda jika dibandingkan dengan ekspor material mentah," kata Arifin dalam acara Penandatanganan Perjanjian Pembiayaan Smelter PT Ceria Metalindo Prima (CMP) yang digelar di kantor Kementerian ESDM pada Kamis (6/4/2022) lalu.
Menurut Arifin, komoditi Nikel memberikan prospek besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Selain untuk dikonsumsi di dalam negeri, produk nikel juga sangat penting untuk industri baja.
Di lain pihak, komoditi nikel juga sangat penting dalam mempercepat transisi energi, utamanya dalam mendukung industri baterai dan kendaraan listrik.
"Ini tentu menjadi nilai strategis bagi Indonesia. Karena itu saya meminta CNI Group untuk mengembangkan hilirisasisi berbagai produk lain secara global," imbuhnya.
Arifin menjelaskan, dukungan pendanaan oleh perbankan terhadap proyek smelter CNI Group ini menjadi salah satu inisiatif Kementerian ESDM selama ini untuk membantu proyek-proyek smelter di Indonesia yang mengalami kendala.
Berdasarkan catatan Arifin, jumlah proyek yang menunjukkan kemajuan kurang menggembirakan sempat mencapai 57 proyek pada beberapa waktu lalu.
"Namun melalui inisiatif yang dilakukan Kementerian ESDM, jumlah proyek smelter yang mandek kini telah berkurang dari semula 57 smelter menjadi 12 smelter yang terdiri dari 8 smelter nikel, 3 smelter bauksit dan 1 smelter mangan," jelasnya.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait