JAKARTA, iNews.id - Saat mengetahui tanda anak-anak kita sudah mencapai usia baligh, apa yag harus dilakukan? Lalu, bagaimana orangtua harus menyampaikan hal itu sesuai ketentuan syariat?
Dalam kitab Kasyifatus Saja, Syaikh Nawawi Al-Bantani secara singkat memberikan penjelasan tanda-tanda anak memasuki akil baligh, seperti dilansir NU online, sebagai berikut:
1. Sempurnanya umur lima belas tahun berlaku bagi anak laki-laki dan perempuan dengan menggunakan perhitungan kalender hijriah atau qamariyah.
Seorang anak—baik laki-laki maupun perempuan—yang telah mencapai umur lima belas tahun ia telah dianggap baligh meskipun sebelumnya tidak mengalami tanda-tanda baligh yang lain.
2. Tanda baligh kedua adalah keluarnya sperma (ihtilaam) setelah usia sembilan tahun secara pasti menurut kalender hijriyah meskipun tidak benar-benar mengeluarkan sperma, seperti merasa akan keluar sperma namun kemudian ia tahan sehingga tidak jadi keluar.
Keluarnya sperma ini menjadi tanda baligh baik bagi seorang anak laki-laki maupun perempuan, baik keluar pada waktu tidur ataupun terjaga, keluar dengan cara bersetubuh (jima’) atau lainnya, melalui jalannya yang biasa ataupun jalan lainnya karena tersumbatnya jalan yang biasa.
3. Adapun haid atau menstruasi menjadi tanda baligh hanya bagi seorang perempuan, tidak bagi seorang laki-laki.
Ini terjadi bila umur anak perempuan tersebut telah mencapai usia sembilan tahun secara perkiraan, bukan secara pasti, dimana kekurangan umur sembilan tahunnya kurang dari enam belas hari menurut kalender hijriyah.
Bila ada seorang anak yang hamil pada usia tersebut, maka tanda balighnya bukan dari kehamilannya tetapi dari keluarnya sperma sebelum hamil (lihat Muhammad Nawawi Al-Jawi, Kaasyifatus Sajaa, (Jakarta: Darul Kutub Islamiyah, 2008), hal. 31).
Seorang anak yang telah mengalami salah satu dari tiga hal tersebut dianggap telah baligh atau biasa disebut telah mukallaf yang berarti menanggung beban perintah-perintah syari’at. Ia telah berkewajiban melakukan salat lima waktu sebagaimana mestinya, puasa di bulan Ramadlan, berhaji bila mampu dan kewajiban-kewajiban lainnya.
Syaikh Nawawi juga menjelaskan bahwa secara fardlu kifayah seorang anak yang telah mencapai usia tujuh tahun dan telah mumayyiz adalah wajib bagi orang tuanya untuk memetintahkannya melakukan salat beserta segala hal yang berkaitan dengannya seperti wudlu dan lainnya.
Bagi orangtua juga wajib memerintahkannya untuk melakukan kewajiban-kewajiban syari’at lainnya seperti berpuasa bila mampu. Perintah ini tentunya disertai dengan kalimat ancaman seperti “bila engkau tidak mau salat maka uang jajanmu tidak diberikan” atau kalimat lainnya. Pada usia ini pula kepada sang anak orang tua wajib mengenalkannya perihal Nabi Muhammad SAW, kapan dan di mana beliau dilahirkan, meninggal dan dikebumikan. Adapun batasan seorang anak telah mumayyiz adalah apabila ia telah mampu makan, minum, dan beristinja’ secara mandiri.
Bila anak telah mumayyiz namun belum mencapai usia tujuh tahun maka orang tua hanya disunahkan, bukan diwajibkan, memerintahkan anaknya melakukan kewajiban-kewajiban syari’at.
Kewajiban Ketika Sudah Ada Tanda Baligh
Anak-anak yang sudah menunjukan akil baligh, maka ada kewajiban-kewajiban syariat yang harus ditunaikan. Disarikan dari kitab: Al-Bayan wa at-Ta’arif bi Ma’ani wa Masaili al-Ahkam al-Mukhtashar al-Lathif, Ahmad Yusuf an-Nishf, hal. 184—185, Dar adh-Dhiya’, cet. 2/2014, berikut langkah-langkah 'kewajiban' tersebut, yakni:
1. Membersihkan najis dan menyucikan diri dari hadas
Bagi anak gadis yang tanda balighnya berupa keluar darah haid, dia harus menunggu masa haidnya berhenti. Setelah berhenti, dia harus mandi besar agar suci darinya.
Bagi anak laki-laki maupun gadis yang tanda balighnya adalah keluar air mani, dia harus segera menyucikan diri dari hadas besar tersebut. Yaitu dengan cara mandi besar.
Dua tanda baligh di atas termasuk yang dianggap sebagai hadas besar. Sebab itulah, anak yang mendapati dua tanda baligh di atas harus menyucikan diri dengan mandi besar. Adapun anak yang mendapati tanda baligh dengan memasuki umur 15 tahun, dianjurkan pula baginya untuk mandi besar. Selain menjadi bentuk pembelajaran, juga agar mendapatkan keutamaan serta pahala mandi besar tersebut.
2. Segera Menunaikan Kewajiban
Kewajiban paling dekat yang dibebankan kepada hamba mukalaf adalah salat. Karena salat harus ditunaikan sebanyak lima waktu dalam sehari semalam.
Seseorang yang mendapati penghalang-penghalang salat pada dirinya, kemudian suatu ketika penghalang itu hilang maka dia wajib mendirikan salat saat penghalang itu tidak ada.
Penghalang-penghalang salat jumlahnya ada tujuh, yaitu :1. Kafir ataupun murtad, 2. Belum baligh, 3.gila, 4.Gingsan,5. Mabuk, 6. Haid, 7. Nifas.
Sekiranya penghalang ini hilang dari seseorang sesaat sebelum habis waktu salat, kurang lebih seseorang cukup melakukan takbiratulihram, maka dia berkewajiban untuk mengqadha shalat tersebut.
Contohnya: Seorang anak memasuki masa baligh tepat di penghujung waktu salat dzuhur, dan satu menit lagi akan masuk waktu salat Asar. Anak tersebut memiliki kewajiban untuk mengqadha salat Zuhur karena dia baligh di satu menit terakhir salat dzuhur, dan satu menit itu cukup baginya untuk melakukan takbiratulihram.
Langkah-langkah yang harus dia lakukan, jika dia baligh karena keluar mani maka hendaknya dia menyucikan diri dari hadas dengan mandi dan berwudu, kemudian mempersiapkan diri untuk salat, mendirikan salat Zuhur dalam rangka qadha, dan setelah itu mendirikan salat Asar.
Adapun tiga penghalang salat berupa gila, pingsan, dan mabuk, maka ada tambahan syarat khusus. Yaitu kesadaran dan kewarasannya harus berlangsung kurang lebih seseorang cukup melakukan taharah dan mendirikan salat.
Contohnya: Seseorang siuman dari pingsannya di penghujung salat dzuhur. Satu menit lagi tiba waktu salat Asar. Satu menit adalah waktu yang cukup untuk melakukan takbiratulihram sehingga dia berkewajiban mengqadha salat duhur yang tidak mungkin sempat dia lakukan.
Dengan syarat, lama waktu siumannya adalah sekiranya seseorang cukup melakukan taharah dan shalat. Misalnya, taharah dan shalat cukup dilakukan dalam waktu 20 menit. Jika lama siumannya adalah 20 menit dan kemudian dia pingsan kembali, dia tetap berkewajiban untuk mengqadha shalat Zuhur tersebut. Kalau siumannya kurang dari 20 menit maka dia tidak berkewajiban mengqadhanya.
Kaidah ini juga bisa diterapkan saat datang penghalang-penghalang salat.
Misalnya wanita yang datang haid setelah 15 menit masuk waktu Zuhur. Padahal dia belum mendirikan salat dzuhur. Oleh sebab 15 menit itu cukup untuk mendirikan salat maka nanti ketika dia suci dari haid, dia memiliki kewajiban untuk mengqadha salat dzuhur yang dahulu tidak sempat dia lakukan.
Wallahu A’lam.
Editor : Eka Dian Syahputra
Artikel Terkait