DI antara nilai-nilai kemanusiaan yang asasi, yang dibawa oleh Islam dan dijadikan sebagai pilar kehidupan pribadi , rumah tangga dan masyarakat adalah keadilan. Adil dalam bahasa Arab berasal dari kata ‘adala, terdiri dari huruf ‘ain, dal dan lam. Secara etimologis atau harfiyah artinya adalah sama atau lurus. “Seorang yang adil adalah orang yang selalu berjalan lurus, dan sikapnya selalu menggunakan ukuran sama, bukan ukuran atau standar ganda”.(M. Quraisy Shihab,Asma’ al-Husna dalam persfektif Islam, buku 2, hal 30.)
Amerika Serikat misalnya sering dijuluki sebagai negara dengan standar ganda. Karena ketika Israel dengan arogansi di luar batas, menjajah bangsa Palestina selama 60 tahun lebih, tidak diapa-apakan, bahkan dibela mati-matian, baik dengan senjata, dana maupun diplomasi. Tetapi ketika bangsa Palestina melawan dengan senjata ketapel atau rudal yang mendarat di tanah kosong perbatasan Israel, sudah dianggap teroris dan dianggap membahayakan keamanan Israel..
Ulama dan mantan Anggota Komisi Ukhuwah MUI DKI Jakarta, KH Drs Syarifuddin Mahfudz MSi menjelaskan, definisi adil secara terminologis atau istilah adalah “wadl’u syai in fii mahallihi”, meletakan sesuatu pada tempatnya, menurut yang semestinya, atau dengan istilah lain proporsional. Lawannya adalah dholim, aniaya, meletakan sesuatu tidak pada tempatnya. Meletakan sepatu di kaki peci di kepala, itu adil, kalau sebaliknya, itu dholim. Memberikan reward kepada anak buah yang berprestasi atau memberikan punishment kepada anak buah yang bandel atau kinerjanya jeblok, itu adil. Membela yang benar menghukum yang salah, itu adil. Bukan membela yang bayar. Hal ini seyogyanya menjadi bahan renungan bagi mereka yang berprofesi sebagai advokat atau pengacara. Jangan karena dibayar, dengan membabi buta membela yang salah mati-matian, seperti sering kita lihat fenomenanya sekarang ini. Sering dengan cara menjungkir balikan fakta-fakta hukum yang ada, atau bahkan berani memahami ayat-ayat suci dengan sekehendak hati.
Allah SWT sebagai Al Khalik, beliau Maha Adil kepada setiap makhluk ciptaanNya. Salah satu dari Asma’ul Husna, Asma ke 30 adalah Al ‘Adl, Yang Maha Adil. Keadilan Allah di dunia berlaku bagi setiap makhlukNya. Dalam hal rezeki misalnya, semua manusia akan diberikan rezeki olehNya, apakah dia muslim atau kafir, shalat atau tidak shalat. Sepanjang yang bersangkutan berusaha sesuai dengan ilmu-ilmu yang berkenaan dengan pencarian rezeki, karena mencari rezeki termasuk bagian dari sunnatullah atau hukum alam, yang berkaitan dengan hukum sebab dan akibat. Pepatah mengatakan “rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya”, ini berlaku bagi semua orang.
Bahkan jangankan manusia setiap makhluk dijamin rezekinya oleh Allah SWT.
وَماَ مِنْ دَابَّةٍ فيْ الاْرْضِ إِلاَّ عَلَى االلَهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمٌسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِيْ كِتَابٍ مُبِيْنٍ
“dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. semuanya tertulis dalam kitab induk yang nyata (Lauh Mahfuzh)”Surat Hud, (11):6.
Keadilan Allah di akhirat juga tidak pandang bulu, tidak dengan standar ganda. Siapa yang timbangan amal baiknya lebih berat dia akan diganjar dengan kenikmatan yang tidak terhingga, sebaliknya siapa yang amal buruknya lebih berat, dia akan diberi siksa dan kehinaan yang berat, karena kehidupan di akhirat adalah buah dari amal yang dilakukan semasa hidup di dunia.
Allah SWT berfirman dalam surat Al Anbiya, (21):47 sebagai berkut:
وَنَضَعُ الْمَوَازِيْنَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلاَ تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْءًا وَإنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ اَتَيْنَا بِهَا وَكَفَى بِنَا حَاسِبِيْنَ
"Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan".
Ayat ini menjelaskan secara gamblang bahwa pada yaumul hisab atau hari perhitungan nanti Allah SWT memasang timbangan keadilan (al qisth), sehingga tidak ada seorangpun yang didholimi (falaa tudhlamu), yang dianiaya, yang diperlakukan tidak adil. Hatta amalan yang seberat biji sawi, atau sebesar atom, bahkan lebih kecil dari atom, pasti akan diberikan balasannya.
Ayat ini menjadi warning bagi setiap insan, agar berhati-hati jangan sampai mendholimi orang, atau memperlakukan pihak lain secara tidak adil, karena ada Hakim Yang Maha Adil kelak.
Ayat ini juga menjadi semacam penghibur bagi mereka yang didholimi orang atau diperlakukan tidak adil selama di dunia, seperti sering terjadi ada orang yang dipenjara puluhan tahun akibat dari pengadilan sesat
.
Selanjutnya sebagai kholifatullah fil ardl, wakil Allah di bumi, manusia juga diwajibkan mempraktekan keadilan itu dalam praktek kesehariannya. Bahkan bagi seorang mukmin, bukan saja diwajibkan berlaku adil, tetapi menjadi penegak keadilan atau pendekar keadilan. Walaupun yang bersangkutan tidak berprofesi sebagai aparat keadilan. Apatah lagi bagi mereka yang fungsinya sebagai pemimpin atau berkecimpung dalam dunia peradilan.
FirmanNya dalam surat An Nisa, (4):135 sebagai berikut:
يَايُّهَا الَّذِيْنَ أمَنُوْاكُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ بِالْقٍسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى اَنْفُسِكُمْ اَوِالْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu”
Penegakan keadilan itu sama sekali tidak boleh dengan menggunakan standar ganda, hatta terhadap diri sendiri, orang tua atau kerabat. Betapa sulitnya prinsip itu dijalankan, lebih-lebih ketika nepotisme berlaku massif di semua level dan segmen masyarakat. Sungguh betapa sulitnya menegakkan keadilan terhadap kroni sendiri.
Dalam ayat 8 surat ke 5 (Al Maidah) Allah SWT berfirman:
يَايُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاَنُ قَوْمٍ عَلَى ألاَّ تَعْدِلُوْا إعْدِلُوْا هُوَ اَقْرَبُ للتَّقْوَى وَاتَّقُوْا اللَهَ إنَّ الله خَبِيْرٌ بِمَا تَعْمَلُوْنَ
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Subhanallah, ayat ini sungguh luar biasa, betapa Islam demikian concern terhadap penegakan keadilan. Terhadap musuh sekalipun prinsip keadilan harus ditegakkan, sama sekali tidak boleh berstandar ganda. Juga harus menjadi saksi karena Allah, agar kesaksiannya adil, tidak merugikan salah satu pihak.
Ayat tersebut mengisyaratkan tidak sedikit orang yang apabila sudah benci atau tidak senang kepada seseorang, dia akan selalu memandang orang itu secara negatif. Sebaliknya apabila sudah terlanjur senang kepada seseorang, dia akan selalu memandang orang itu secara positif, enggak pernah salah, tidak peduli bahkan ketika orang tersebut melakukan perbuatan negatif.
Pepatah Arab mengatakan:
وعَيْنُ الرِّضَى عَنْ كُلِّ عَيْبٍ كَلِيْلَة – وَلَكِنْ عَيْنُ السُّخْطِ تُبْدِ الْمَسَاوِى
“Pandangan suka tumpul terhadap aib – Pandangan benci membuka setiap kejelekan.
Adil lebih dekat kepada takwa, (aqrobu lit taqwa). Artinya dibandingkan dengan akhlak yang lain, santun, dermawan dan lainnya, sifat adillah yang paling dekat dengan takwa. Sementara takwa adalah sifat paripurna bagi seorang mukmin. Ini sejalan dengan mission sacre atau tugas suci dari syariat Islam, yakni mewajibkan setiap Muslim untuk bertakwa, sebagai perwujudan dari Hablun Min al-Allah, dan mewajibkan setiap Muslim untuk menegakkan keadilan sebagai perwujudan dari Hablun Minan Naas.
Dari sekian banyak hadits tentang adil, dua hadits berikut kiranya dapat memotivasi kita untuk selalu berbuat adil:
1. Hadits riwayat Muslim dari Abdullah bin Amr bin Ash sebagai berikut:
قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهغ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إنَّ الْمُقْسِطِيْنَ عِنْدَ الله عَلَى مَنَابِرِ مِنْ نُوْرٍ عَنْ يَمِيْنِ الرَّحْمَنِ عَزّ و جلَّ وَ كِلْتَا يَدَيْهِ الَّذِيْنَ يَعْدِلُوْنَ فِى حُكْمِهِمْ وَاَهْلِيْهِمْ وَمَا ولوا.
Bersabda Rasulullah saw:
“Sesungguhnya mereka yang berbuat adil di sisi Allah Ta’ala kelak mereka akan berada di atas mimbar dari cahaya dari tangan Allah Ar Rahman Azza wa Jalla, mereka adalah orang-orang yang adil dalam menghukumi sesuatu bahkan terhadap keluarga mereka sendiri, juga terhadap orang-orang yang mereka pimpin”.
2. Hadits riwayat Bukhari Muslim dan lainnya:
Bersabda Rasulullah SAW:
“ Tujuh golongan yang dinaungi Allah dalam naunganNya pada hari tidak ada naungan kecuali naunganNya; 1. Pemimpin yang adil, 2. Pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah kepada Allah, 3. Orang yang hatinya selalu terpaut ke masjid, 4. Dua orang yang saling mencintai karena Allah, keduanya berkumpul karena Allah dan berpisah karena Allah.
5. Seorang lelaki yang dirayu wanita bangsawan dan rupawan, ia berkata “Sungguh aku takut kepada Allah”. 6. Orang yang bersedekah dengan sembunyi-sembunyi sehingga tangan kirinya tidak mengetahuin apa yang diperbuat tangan kanannya. 7. Orang yang berdzikir kepada Allah di tempat sunyi sampai mencucurkan air mata.
Dari tujuh golongan orang yang akan mendapat perlindungan itu, nomor 1 adalah pemimpin yang adil. Dan ingat dalam haditsnya Rasulullah SAW bersabda :
“ Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya.. Seorang Penguasa adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Setiap laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Setiap wanita adalah pemimpin di rumah suami dan anak-anaknya, dan akan dimintai pertanggungbjawaban atas kepemimpinannya “.
(HR Muslim).
Editor : Vitrianda Hilba Siregar