get app
inews
Aa Text
Read Next : Polemik RPMK Produk Tembakau dan Rokok Elektronik, DPR Ingatkan Pemerintah soal Dampaknya

DPR Rencana Undang Kapolri Jelaskan Kontroversi Ismail Bolong

Rabu, 28 Desember 2022 | 12:50 WIB
header img
Mantan anggota Polres Samarinda, Kalimantan Timur Ismail Bolong ternyata menjabat komisaris di PT EMP yang terlibat penambangan batu bara ilegal. (Foto: Istimewa)

JAKARTA, iNewsBekasi.id - Komisi III DPR berencana akan mengundang Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo untuk dimintai penjelasannya terkait kasus dugaan tambang ilegal yang menyeret Ismail Bolong.

Anggota Komisi III DPR Santoso menerangkan, rencana pemanggilan itu ditujukan agar kasus dugaan tambang ilegal yang menyeret Ismail Bolong dapat terbongkar 

"Mungkin akan dilakukan pascareses di Januari yang akan datang. Tentunya bahwa kami ingin supaya persoalan ini cepat terselesaikan karena telah terang benderang saudara Ismail Bolong telah sampaikan apa yang terjadi, meskipun sudah ada video klarifikasi bahwa dia sampaikan itu ada tekanan," tutur Santoso dalam webinar bertajuk "Jejak Nyanyian Ismail Bolonh di Bisnis Tambang Ilegal," Selasa (27/12/2022).

Diketahui, Ismail Bolong sempat mengklaim telah memberikan uang senilai Rp6 miliar kepada Kabareskrim Polri, Komjen Agus Andrianto untuk melindungi bisnis tambang ilegal di Kalimatan Timur. Ismail sendiri merupakan mantan anggota Polres Samarinda, Kalimantan Timur.

Bahkan, klaim tersebut pernah diusut oleh Divisi Propam Polri saat Ferdy Sambo menjabat sebagai pimpinannya. Hal itu ditandai dengan beredarnya laporan hasil penyelidikan (LHP) kasus tambang ilegal dengan nomor R/ND-137/III/WAS.2.4./2022/Ropaminal tertanggal 18 Maret 2022 .

Dokumen itu ditandatangani oleh Hendra Kurniawan selaku eks Karo Paminal Propam Polri dan ditujukan kepada mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo.

Atas dasar itu, Santoso menyatakan komisi hukum DPR RI bakal melakukan investigasi. Caranya  dengan meminta klarifikasi ke Listyo Sigit terkait perkara itu.

"Kami di Komisi III akan melakukan langsung investigasi ini kepada Kapolri seperti pada kejadian Sambo di bulan yang lalu," tutur Santoso.

Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar Universitas Pancasila, Prof. Agus Surono, menanggapi ramainya dorongan agar Ismail Bolong dijadikan Justice Collaborator (JC), dirinya mengatakan, secara eksplisit justice collaborator tersebut bisa dilakukan sebagai delik korupsi. 

"Makanya saya sampaikan bisa dilakukan JC selama pendekatanya dikaitkan dengan delik korupsi. Nah kasus ismail bolong ini menjadi pintu masuk untuk membuka kasus-kasus lain, bisa saya tegaskan JC ini spesifik dengan delik korupsi dan itu bisa dilakukan dengan penegakan hukum yang baik," katanya.

Selain itu, Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menilai tak ada langkah signifikan dari kepolisian dalam menangani kasus dugaan suap tambang ilegal yang menyeret Ismail Bolong. Padahal, katanya, "nyanyian" suap Ismail Bolong telah bergulir sejak dua bulan lalu.

"Tetapi dari pihak kepolisian, Kapolri dalam hal ini belum membentuk semacam timsus untuk menuntaskan kasus ini. Ini kan sangat disayangkan sekali, padahal ini sudah berjalan hampir 2 bulan, dan kasus ini sepertinya dibiarkan mengambang begitu saja," katanya.

Dari pandangan Bambang, proses pengusutan kasus tersebut justru disederhanakan oleh pihak kepolisian. Hal itu terlihat dari proses penagakan hukum menyasar pada persoalan tambang ilegal Ismail Bolong.

"Tetapi tidak diproses dengan terkait surat Divpropam bulan April 2022. Kalau menyangkut surat Divpropam 2022 itu, seharysnya bisa ditelusur siapa saja yang terlibat," kata Bambang.

Surat Divisi Propam Polri yang dimaksud Bambang yakni surat hasil laporan hasil penyelidikan (LHP) kasus tambang ilegal yang berisi adanya keterlibatan pimpinan polri. Diketahui, Ismail Bolong telah menjalankan praktek penambangan sejak 2020 dan melakukan setor sejumlah uang ke Pihak Petinggi Polri. 

Bagi Bambang, kepolisian harus mengusut tuntas dugaan suap kasus tambang ilegal Ismail Bolong. Bila tidak, persepsi publik akan tergerus lantaran tak ada gerakan daei Korps Bhayangkara terhadap kasus tersebut.

"Makanya saya melihat jargon Presisi ini masih sangat jauh sekali. Responsibilitasnya di mana ketika ada kasus sekrusial ini tidak diusut segera cepat," terang Bambang.

Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut