Hamas dan Fatah Harus Bersatu Menuju Perdamaian di Palestina

BEKASI, iNewsBekasi.id- Konflik Palestina-Israel yang telah berlangsung selama lebih dari tujuh dekade merupakan salah satu persoalan geopolitik paling kompleks dan berdampak besar di dunia.
Ribuan nyawa melayang, kota-kota hancur, dan jutaan rakyat Palestina hidup dalam kondisi serba sulit, terutama di wilayah Jalur Gaza dan Tepi Barat.
Namun, di balik konflik tersebut, ada satu kenyataan penting yang sering luput dari sorotan utama dunia internasional: perpecahan internal Palestina, khususnya antara dua kekuatan politik terbesar, yaitu Hamas dan Fatah.
Koordinator Aqsha Discovery Indonesia Danni Irawan mengatakan, persatuan antara Hamas dan Fatah bukan hanya idealisme semata, melainkan kunci krusial untuk mengakhiri perang yang tak kunjung usai dan membuka jalan bagi kemerdekaan Palestina yang damai dan berkeadilan.
“Persatuan Hamas dan Fatah adalah sebuah tantangan yang dihadapi. Namun, langkah konkret ini dapat diambil demi rekonsiliasi dan perdamaian di Palestina,” kata pria yang baru saja pulang dari tanah Syam tersebut pada Jumat (23/5/2025).
Dia menegaskan, urgensi dan prioritas utama saat ini adalah melindungi rakyat sipil di Gaza, khususnya anak-anak dan kaum ibu, karena zionis Israel tidak memiliki konsep yang terukur. Sejak perang di Gaza, sudah lebih dari 50 ribu rakyat sipil Palestina tewas.
“Siapa harus melindungi mereka? Menurut saya, seharusnya Fatah dan Hamas tidak egois, dengan hanya mementingkan kepentingan mereka. Mereka seharusnya berbagi dan berkolaborasi dalam hal perlindungan bagi rakyat Palestina. Soal kesepakatan bersama untuk masalah lainnya, adalah hal kedua,” tegasnya.
Diketahui, sejak berdirinya Israel pada tahun 1948, rakyat Palestina mengalami berbagai bentuk pengusiran, pendudukan, dan konflik bersenjata.
Perjuangan Palestina pun terpecah dalam berbagai kelompok dengan ideologi dan strategi berbeda. Dua kekuatan utama yang menjadi tulang punggung perjuangan rakyat Palestina adalah Fatah dan Hamas.
“Fatah didirikan oleh Yasser Arafat. Fatah merupakan gerakan nasionalis sekuler yang menguasai Otoritas Palestina dan lebih mengedepankan pendekatan diplomasi serta negosiasi dengan Israel dan dunia internasional,” katanya.
Sementara Hamas, merupakan organisasi Islamis yang muncul pada akhir 1980-an dan memenangkan pemilihan legislatif pada 2006. Hamas menguasai Jalur Gaza dan dikenal dengan pendekatan perlawanan bersenjata terhadap Israel.
Danni menguraikan, persaingan dan konflik politik antara Hamas dan Fatah menyebabkan terpecahnya wilayah Palestina menjadi dua entitas yang terpisah secara administratif dan politik. Gaza berada di bawah kendali Hamas, sementara Tepi Barat dikontrol oleh Otoritas Palestina yang didominasi Fatah.
“Perpecahan ini melemahkan posisi politik Palestina di tingkat regional dan global, serta memperburuk kondisi sosial ekonomi rakyat Palestina,” urainya.
Menurut dia, perpecahan tersebut membawa sejumlah konsekuensi negatif yang memperpanjang penderitaan rakyat Palestina. Pertama, melemahnya posisi tawar Palestina.
Dengan dua entitas yang saling bersaing, Palestina kehilangan kekuatan negosiasi yang terkoordinasi dalam menghadapi Israel dan dunia internasional.
Kedua, konflik internal menyebabkan ketidakstabilan politik dan administratif yang menghambat program pembangunan, pelayanan publik, dan bantuan kemanusiaan.
Ketiga, persaingan antarkelompok dapat memicu bentrokan internal yang menambah penderitaan warga sipil dan menurunkan fokus pada perjuangan utama melawan pendudukan.
“Nah, perpecahan tersebut membuat Palestina rentan terhadap pengaruh dan manipulasi kekuatan regional dan global yang memiliki agenda berbeda,” katanya.
Dengan begitu, dia memandang persatuan antara Hamas dan Fatah penting untuk mengakhiri perang dan membangun masa depan yang lebih baik. Persatuan ini akan membawa berbagai manfaat strategis dan kemanusiaan.
Salah satunya, kedua kelompok dapat mengajukan tuntutan yang lebih kuat dan terkoordinasi dalam negosiasi damai dengan Israel dan dalam forum internasional seperti PBB dan Liga Arab.
Legitimasi politik yang terintegrasi meningkatkan peluang tercapainya solusi dua negara atau alternatif yang adil bagi rakyat Palestina.
“Kedua, persatuan tersebut akan mengurangi konflik internal, memperlancar koordinasi pemerintahan, dan membuka akses lebih luas terhadap bantuan internasional untuk rekonstruksi, pelayanan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi,” katanya.
Dengan mengalihkan energi dari persaingan politik ke perjuangan bersama, Palestina dapat mengurangi insiden kekerasan internal dan fokus pada perlawanan yang efektif dan beradab terhadap pendudukan.
Persatuan juga akan memperkokoh rasa kebersamaan dan identitas nasional Palestina, memperkuat dukungan rakyat di dalam dan luar negeri, serta meningkatkan moral perjuangan.
Meskipun persatuan sangat penting, dia menyadari bahwa jalan menuju rekonsiliasi antara Hamas dan Fatah tidak mudah. Beberapa tantangan utama meliputi perbedaan ideologi dan strategi, isu keamanan dan pengelolaan wilayah, dan pengaruh kekuatan regional.
Menurut dia, Fatah cenderung pada pendekatan diplomasi dan negosiasi, sedangkan Hamas mengedepankan perlawanan bersenjata.
Soal isu keamanan dan pengelolaan wilayah, kekuasaan dan keamanan di Gaza dan Tepi Barat masih menjadi titik konflik utama.
“Negara-negara seperti Iran, Mesir, Qatar, dan Arab Saudi memiliki pengaruh berbeda terhadap kedua kelompok yang dapat memperumit proses rekonsiliasi,” katanya.
Danni menyebutkan beberapa beberapa langkah strategis yang dapat ditempuh. Salah satunya, dialog terbuka dan mediasi independen.
Menurut dia, perlu pertemuan berkala antara pimpinan Hamas dan Fatah dengan bantuan mediator internasional yang kredibel. Di lain sisi, perlu gagasan pembentukan Pemerintahan Persatuan Nasional.
Pemerintahan sementara yang inklusif diperlukan untuk mengelola urusan Palestina secara bersama.
Langkah konkret lainnya, menyepakati visi dan strategi perjuangan yang mengakomodasi kepentingan semua pihak, termasuk pendekatan damai dan penggunaan perlawanan.
Kemudian, penguatan infrastruktur sosial dan ekonomi. Fokus pada pembangunan dan layanan dasar diperlukan guna meningkatkan kesejahteraan rakyat Palestina.
“Dukungan dunia internasional juga diperlukan dengan menggalang dukungan politik dan finansial untuk mendorong proses perdamaian dan rekonsiliasi,” katanya.
Danni juga menyarankan kepada umat Islam di seluruh dunia, khususnya di Indonesia, agar berperan penting dalam mendukung persatuan dan perdamaian Palestina.
Melalui solidaritas, edukasi, dan bantuan kemanusiaan yang terorganisir, masyarakat dapat membantu meringankan penderitaan dan memperkuat perjuangan yang berlandaskan damai.
Upaya mengakhiri perang di Palestina bukan hanya soal mengakhiri kekerasan fisik, tetapi juga menyelesaikan perpecahan internal yang selama ini melemahkan perjuangan rakyat Palestina.
“Persatuan Hamas dan Fatah adalah langkah strategis yang tidak bisa ditawar lagi untuk mencapai perdamaian yang adil dan berkelanjutan. Dengan tekad bersama dan dukungan dari seluruh komponen masyarakat, harapan akan kemerdekaan Palestina yang damai dan bermartabat dapat terwujud,” katanya.
Editor : Wahab Firmansyah