KARAWANG, iNews.id - Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Karawang yang diketuai Hj. Siti Yuristia Akuan, SH, MH. beserta Dian Triastuty, SH. dan Hasnul, SH. sebagai anggota, dituding sangat sembrono dalam memutuskan kasus perdata antara penggugat H. Didin Jamaludin melawan tergugat Herry Angga Wijaya.
Pasalnya majelis hakim tidak pernah menghadirkan Herry di ruang pengadilan untuk memberikan kesaksian atas kasus yang dimenangkan Didin Jamaludin.
Akibatnya, putusan majelis hakim nomor 50/Pdt.G/2021//PN.KWG pada Kamis (8/7/2021) lalu, sangat mencederai rasa keadilan bagi tergugat. Akibat ketidakhadiran Herry untuk memberikan keterangan, majelis hakim akhirnya memutuskan perkara yang merupakan kebohongan yang disusun Didin.
Dalam perkara ini Didin membuat pengakuan yang bertolak belakang dengan fakta yang sebenarnya. Dia membuat pengakuan bahwa perkara ini berawal dari utang piutang.
Yang mana pada sekitar Februari 2020 lalu dirinya meminjam uang kepada Herry sebesar Rp180 juta dan pada 19 Maret 2020 sebesar Rp 93 juta, sehingga totalnya sebesar Rp 273 juta.
Dia mengaku, Herry kemudian meminjam 2 BPKB mobilnya, bahkan dia juga mengaku telah mengembalikan uang tersebut dengan cara mengangsur seluruhnya sebesar Rp 410 juta.
Menurut Herry, kesaksian ini bertolak belakang dengan fakta sebenarnya. Padahal faktanya, katanya, pada 21 Maret 2020 Didin menjual mobil Toyota Fortuner nopol T 1662 EN seharga Rp 270 juta kepadanya.
Jual beli itu disaksikan temannya. Kwitansinya juga ada dan ditandatangani Didin disaksikan oleh rekan kerja Herry yang siap dihadirkan di meja persidangan untuk menyingkapkan kebenaran.
Setelah jual beli dilakukan, Didin kemudian memohon kepada Herry Angga Wijaya untuk meminjam mobil itu sebagai kendaraan operasional ke tambak udang di Garut.
“Saya memiliki kerja sama dengan Haji Didin, sehingga bersedia meminjamkan mobil itu,” ujarnya.
Lantas, pada Januari 2021 lalu, kerjasama mereka tidak dilanjutkan lagi sehingga Herry meminta mobil tersebut kepada Didin.
Ternyata mobil itu tidak ada di tangannya, sehingga Herry memberikan somasi dua kali. Lantaran tidak digubris juga, Herry melaporkan Didin ke Polsek Kelapa Dua, Tangerang.
“Sampai sekarang proses penyelidikan sedang berjalan. Saya laporkan di Polsek Kelapa Dua karena jual beli dilakukan di wilayah itu,” ujarnya.
Dia mengatakan, PN Karawang telah semena-mena mengeluarkan putusan tanpa melihat fakta yang ada.
“Soalnya, apabila kasus itu merupakan gadai BPKB, pastilah ada surat gadai, bukannya kwitansi jual beli,” kata Herry.
Yang kedua, majelis hakim tidak memeriksa transferan uang atau bukti yang diajukan Didin secara detail.
“Seharusnya majelis hakim memeriksa apakah itu pembayaran atau merupakan pembagian keuntungan dari hasil kerjasama antara saya dengan Haji Didin. Jadi jangan ditelan mentah-mentah pengakuan Didin,” ungkapnya.
Yang ketiga, kata pengusaha itu, dalam amar putusannya majelis hakim mengatakan sudah memanggil dirinya untuk menghadiri sidang. Padahal surat undangan/panggilan dari PN Karawang tidak pernah sampai ke kantor ataupun rumahnya.
“Padahal, alamat kantor saya jelas tertulis di surat putusan itu, atau memang jika benar mau melayangkan surat panggilan, Didin tahu nomor HP saya. Yang pasti, sampai sekarang belum pernah ada dari pihak PN Karawang yang konfirmasi dengan saya,” ungkapnya.
Dia mengatakan, majelis hakim juga tidak memeriksa dengan teliti, apakah uang yang ditransfer Herry adalah uang peminjamkan BPKB atau uang untuk modal kerja sama.
“Jika memang ini merupakan gadai, seharusnya PN Karawang meneliti dulu dan bisa melakukan pengecekan ke beberapa tempat gadai, pegadaian, leasing, ataupun koperasi, apakah jika kita menggadai yang dikasih itu kwitansi jual beli atau surat gadai?” pungkasya.
Dia menegaskan, intinya majelis hakim PN Karawang hanya mendengarkan keterangan sepihak tanpa meminta bukti-bukti yang sah dari penggugat.
Seharusnya, katanya, majelis hakim PN Karawang lebih bijak dalam bertindak supaya keputusannya tidak malah melukai rasa keadilan masyarakat.
“Namanya juga pengadilan, artinya harus jadi panutan yang bagus untuk masyarakat. Tapi jika tindakan PN Karawang seperti ini, bagaimana masyarakat mau percaya dengan pengadilan,” pungkasnya.
Editor : Aditya Nur Kahfi