JAKARTA, iNews.id - Kisah Presiden RI pertama, Ir Soekarno meninggalkan jejak mendalam di Rusia lantaran keberaniannya. Di mana kedatangannya pada Juni 1961 di negara yang sebelumnya bernama Uni Soviet tersebut membuat warga Rusia menamai anggota keluarganya Sukarno dan berlangsung hingga empat generasi.
Nama warga Rusia itu Musa Gashimovich. Dia adalah warga Dagestan, salah satu negara bagian dalam Federasi Rusia dan merupakan republik terbesar di Rusia yang terletak di utara Kaukasus.
Kala itu, Musa yang menjabat sebagai ketua kelompok tani atau kolkhoz menghadiri sidang Partai Komunis di Kremlin. Sidang Komite Sentral Partai Komunis Uni Soviet digelar pada hari Jumat.
Sejumlah kepala negara hadir di sana, termasuk Presiden pertama Indonesia, Sukarno. Ketika sidang masih berlangsung dan waktunya zuhur, Soekarno tiba-tiba berdiri. Dia meminta izin kepada Sekjen Partai Komunis, Nikita Khrushchev, meninggalkan ruangan untuk menunaikan salat.
Nikita Khrushchev pun mengizinkan Sukarno meninggalkan ruangan sidang. Aksi Sukarno rupanya membuat kader Partai Komunis, Musa Gashimovich kaget. Dia nyaris tidak percaya.
Wajar saja dia terkejut melihat Sukarno. Di zaman itu, Uni Soviet melarang kegiatan beragama, termasuk salat bagi umat Islam. Umat beragama harus beribadah secara diam-diam.
Musa Gashimovich diam-diam kagum pada Presiden Sukarno karena berani meminta izin untuk salat zuhur. Apa yang dilakukan oleh Sukarno sangat luar biasa, di luar pikiran kebanyakan orang Rusia ketika itu, termasuk Musa.
Ternyata kekaguman Musa Gashimovich pada Sukarno juga sangat besar. Dia sampai menamai anaknya yang lahir pada 1962, Sukarno, tepatnya Sukarno Musaevich atau Sukarno bin Musa.
Kisah Nikita Khrushchev ini diceritakan oleh M Wahid Supriyadi yang masih menjabat Duta Besar LBBP RI untuk Federasi Rusia dan Republik Belarus pada 2019. Dia mengetahui sejarah ada keluarga bernama Sukarno di Rusia dari Abdulaev Ibragimgadzi, Kepala Pusat Nusantara, yang diresmikannya pada 26 Maret 2019.
"Menurut Abdulaev, Musa sempat menulis surat kepada KBRI Moskow kala itu untuk meminta izin memberi nama anaknya "Sukarno", tapi tidak pernah dijawab," tulis M Wahid Supriyadi," dikutip iNews.id dari situs resmi Kemlu, Senin (7/3/2022).
M Wahid Supriyadi, mantan Dubes RI untuk Federasi Rusia dan Republik Belarus bersama dua anak bernama Sukarno. (Foto: Kemlu)
Penamaan Sukarno berlanjut hingga generasi keempat atau keturunan ketiga Musa. Salah seorang putra Sukarno Musaevich, menamai anaknya Sukarno Kamilevich atau Sukarno bin Kamil.
Saudara sepupu Kamil, Muhammad, anehnya juga menggunakan nama Sukarno. Namanya Sukarno Magomedovich atau Sukarno bin Muhammad. Kamil menamainya Sukarno karena kekagumannya pada Musa.
M Wahid Supriyadi berkesempatan bertemu langsung dua anak bernama Sukarno itu, yakni Sukarno Kamilevich atau dalam bahasa Indonesia Sukarno bin Kamil, berumur 12 dan Sukarno bin Muhammad (Rusia: Sukarno Magomedovich), berusia 10 tahun.
Orang tua mereka kakak adik, jadi mereka saudara sepupu. Mereka tinggal sekitar 1 jam naik mobil dari Makhachkala, ibu kota Republik Dagestan dan datang ke Makhachkala atas undangan Abdulaev Ibragimgadzi, Kepala Pusat Nusantara yang diresmikan pada 26 Maret 2019.
Orang tua mereka kakak adik, jadi mereka saudara sepupu. Mereka tinggal sekitar 1 jam naik mobil dari Makhachkala, ibu kota Republik Dagestan dan datang ke Makhachkala atas undangan Abdulaev Ibragimgadzi, Kepala Pusat Nusantara yang diresmikan pada 26 Maret 2019.
"Nah, berarti kedua anak yang datang pada peresmian Pusat Nusantara tersebut, Sukarno bin Kamil dan Sukarno bin Muhammad, adalah cicit dari Musa Gashimovich yang hadir di sidang Kongres Partai Komunis Uni Soviet 1961," kata M Wahid Supriyadi.
Ternyata, sampai saat ini nama Sukarno juga masih banyak dikenal oleh generasi tua, terutama di kota-kota yang pernah dikunjungi Presiden Sukarno. Kota-kota itu seperti Moskow, Saint Petersburg, Yekaterinburg, Sochi dan Samarkand yang sekarang masuk wilayah Uzbekistan.
Jejak Soekarno lainnya di Rusia saat dia mengunjungi Masjid Katedral di Moskow yang saat itu sangat kecil. Fotonya masih tersimpan di masjid kebanggaan umat Muslim Rusia.
Dalam kunjungannya tahun 1956 ke Saint Petersburg, Sukarno meminta Nikita Khrushchev agar mengizinkan dibukanya kembali Masjid Biru sebagai tempat ibadah umat Islam. Tidak perlu waktu lama, Khrushchev pun mengizinkannya dibuka kembali 10 hari setelah kunjungan Sukarno.
"Imam Masjid Biru, Cafer Nasibullahoglu, pun mengakui jasa Sukarno," ujarnya.
Di Samarkand, sampai saat ini masyarakatnya meyakini bahwa makam Imam Bukhari dibangun oleh Uni Soviet atas jasa Sukarno. Konon, Sukarno bersedia memenuhi undangan Nikita Khruschev dengan syarat makam Imam Buchari ditemukan.
"Benar saja, Khruschev memenui syarat itu. Sukarno sendiri dalam rangkaian kunjungannya tahun 1956 mengunjungi makam tersebut dengan perjalanan kereta api yang ditempuh sekitar tiga hari," katanya.
Dagestan memiliki penduduk yang mayoritas beragama Islam, sebagaimana Chechnya dan Tatarstan. Di sini terlihat banyak masjid di Dagestan. Di sini bisa didengarkan suara azan. Para perempuannya sebagian mengenakan jilbab, persis seperti di Indonesia.
"Tidak sedikit juga yang menggunakan baju modis ala wanita modern. Bahkan, mereka umumnya berparas cantik karena campuran dari Persia, Arab, Barat dan lokal. Islam di Dagestan cukup toleran dan moderat dan beraliran Sunni seperti di Indonesia," kata M Wahid Supriyadi.
Dia juga menyebutkan, di Makhachkala, Dagestan, terdapat masjid yang diklaim sebagai yang terbesar di Rusia, bahkan Eropa. Besarnya mengalahkan Masjid Katedral di Moskow.
Saat itu, Masjid Jumma Makhachkala dapat menampung sekitar 17.000 jemaah. Sementara Masjid Katedral Moskow hanya menampung 10.000 orang.
Editor : Eka Dian Syahputra
Artikel Terkait