LETJEN TNI Sintong Panjaitan punya pengalaman menegangkan saat dikepung todongan tombak, panah serta kapak batu masyarakat belantara Papua.
Kisah ini terungkap dalam buku "Kopassus untuk Indonesia, Profesionalisme Prajurit Kopassus". Sintong tidak panik justru teringat dengan pesan seorang pastor bagaimana cara mengambil hati masyarakat Papua.
Kisah Sintong Panjaitan tersesebut adalah bagian dari operasi kemanusiaan bagi masyarakat terpencil terutama di Papua pada 1959.
Saat itu, Sintong yang berpangkat Lettu berada di bawah komando Kapten Feisal Tanjung diberi kepercayaan melaksanakan operasi kemanusiaan di pedalaman Papua yang diberi nama Tim Lembah X.
Kops Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD.(Foto:Ist)
Tim Lembah X merupakan bentukan Pangdam XVII/Cendrawasih, Brigjen TNI Sarwo Edhie Wibowo bekerja sama dengan sineas Prancis, Pierre Dominique Gaisseau. Dia meminta izin Sarwo Edhie untuk mengambil gambar di pedalaman Papua untuk pembuatan film antropologi budaya Papua.
Setelah selesai, film tersebut diberi judul "Sky Above and Mud Beneath" dan menjadi film dokumenter pertama yang meraih Oscar. Lembah X merupakan suatu tempat di tengah belantara Papua yang amat terpencil, bahkan tidak ada di peta buatan Belanda.
Gaisseau pertama kali melihat Lembah X dari pengamatan udara di atas Pegunungan Prince van Orange (Jayawijaya). Lembah itu terletak di sebelah utara Puncak Juliana (Puncak Jaya) pada ketinggian 1.500-2.700 meter.
Sarwo Edhie pun menerjunkan tujuh personel Kopassus dan dua personel Kodam Cendrawasih untuk bergabung dengan Tim Lembah X. Namun personel TNI itu melaksanakan operasi kemanusiaan Kodam Cendrawasih untuk masyarakat pedalaman Papua dan memiliki tugas terpisah dengan tim sineas asal Prancis tersebut. Kapten Feisal Tanjung ditunjuk jadi komandan tim dan Lettu Sintong didapuk jadi perwira operasi.
Singkat cerita, Tim Lembah X akhirnya menuju ke lokasi setelah berbulan-bulan melaksanakan persiapan. Mereka berangkat menggunakan pesawat Cessna dengan Lettu Sintong sebagai penerjun pertama.
Upaya pendaratan tidak berjalan mulus sama sekali karena kondisi geografis berupa hutan belantara yang sangat padat. Pesawat harus berputar-putar sebelum anggota tim terjun. Tidak ada satu pun rencana pendaratan yang sesuai rencana, semua meleset dari titik awal. Ada yang tersangkut pohon, ada yang mendarat di tengah kampung, dan ada yang jatuh cukup jauh sampai keesokan harinya baru ditemukan.
Nahas, Lettu Sintong mendarat di tengah kampung dengan sambutan todongan tombak, panah serta kapak batu masyarakat belantara Papua. Sebagai personel TNI, Sintong langsung bergerak sesuai nalurinya dengan memegang senapan dan siap menembak.
Namun dia terkejut karena semua pelurunya jatuh bertebaran di antara kaki penduduk desa yang sudah marah. Sekonyong-konyong dirinya teringat pesan pastor Papua tentang cara menyapa dan meluluhkan hati masyarakat pedalaman Papua.
Caranya yaitu membuka tangan sambil tersenyum. Hal itu pun dilakukan Sintong meski terbayang-bayang cerita praktik kanibalisme yang dilaporkan kerap terjadi di tengah belantara Papua pada masa itu.
Sintong segera melakukannya setelah teringat pesan Pangdam bahwa operasi kali ini merupakan operasi kemanusiaan dan bukan operasi perang. Dia pun membuka tangan sambil tersenyum.
Melihat tindakan Sintong itu, salah satu penduduk yang sudah berumur berjalan dan menaruh sesuatu di atas kepala Sintong. Ternyata itu merupakan daging babi hutan mentah. Tak berpikir panjang, Sintong menerima pemberian itu dan langsung memakannya.
Lama-lama dirinya melihat penduduk setempat tidak lagi berteriak marah dan terlihat lega. Bahkan ada satu penduduk yang diam-diam mendekatinya dan menyentuhnya, seakan tidak percaya ada yang turun dari pesawat yang saat itu dikenal masyarakat pedalaman sebagai burung. Apa yang dilakukan Sintong juga diterapkan Tim Lembah X lainnya hingga kehadiran mereka diterima dengan tangan terbuka.
Cukup lama mereka berada di sana walaupun komunikasi sepenuhnya dilakukan dengan bahasa isyarat. Di sana personel TNI turut mengamati, mengenalkan peradaban serta mengajarkan masyarakat bercocok tanam. Setiap hari dilakukan komunikasi dengan Kodam Cendrawasih yang kemudian rutin memasok keperluan logistik.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait