SEORANG anggota intelijen yang juga ahli kunci berhasil membuka koper dan mendokumentasikan semua isi dokumen milik atase militer Portugis saat berkunjung ke Indonesia, tanpa bekas.
Ini adalah satu siasat intelijen Indonesia saat dipimpin Jenderal LB Moerdani. Pada 14 Agustus 1974 Portugal mengirimkan atase militer mereka, Mayor Antonio Joao Soares untuk menuju Timor-Timur. Dia transit sehari di Jakarta sebelum kemudian terbang ke Dili melalui Kupang.
Ken Conboy, lulusan Georgetown University School of Foreign Service dalam bukunya "Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia" menyebutkan, keesokan harinya atau pada 15 Agustus sebuah surat resmi dari Konsulat Portugal tiba di Jakarta.
Surat ini memberitahu Soares akan menuju Kupang via Bali. Dari Kupang dia akan naik pesawat menuju Dili yang telah disediakan Gubernur Militer Timor.
“Benny Moerdani yang sangat penasaran ingin mengetahui isi tas kerja sang mayor menugaskan Kolonel Dading Kalbuadi untuk mendapatkan akses. Benny memberikan tiga pilihan: mengambil tas secara paksa, melakukan penodongan pura-pura, atau melakukan aksi sulap,” kata Ken.
Dading mengambil opsi ketiga yaitu ‘memainkan aksi sulap’. Salah satu prajurit intelijen dalam Satsus Intel itu yakni Hans Hamzah. Menurut Ken, Hamzah merupakan sedikit dari anggota Satsus Intel yang seorang Tionghoa. Dia memiliki kemampuan hebat soal bahasa. Hamzah menguasai 6 bahasa dan ahli membuka kunci.
Aksi sulap pun dirancang. Hans Hamzah menyamar menjadi Kepala Cabang Maskapai Merpati Airlines ketika Soares berada di bandara, bersiap terbang ke Kupang. Saat Soares melapor, Hamzah berimprovisasi bahwa visa sang atase harus mendapat persetujuan dari imigrasi.
Praktis Soares berang dan menyebut dirinya sedang dalam misi diplomatik. Tetapi Hamzah bergeming. Dia lantas menawarkan bantuan untuk mengantar langsung Soares ke kantor imigrasi agar dapat cap pengesahan.
Soares melunak. Oleh Hamzah dia dibawa ke kantor Imigrasi menggunakan mobil dalam perjalanan 16 kilometer. Kepala kantor imigrasi telah setuju diajak bekerja sama soal ini. Begitu Soares datang, dia mempersilakan masuk ruangannya dan meminta untuk mengisi dokumen.
Hamzah menyarankan agar koper Soares ditinggal saat masuk ruangan. Untuk meyakinkan, dia menyebut koper itu akan dijaga petugas bersenjata. Soares awalnya ragu, tapi kemudian setuju.
Satsus Intel anak buah Dading Kalbuadi bergerak cepat. Hamzah dengan kelihaiannya membuka kunci koper. Semua dokumen lantas dipotret oleh anggota lain yang ahli fotografi. Pekerjaan itu dengan cepat dituntaskan.
Operasi ini kelak dikenal dengan Sandi Kuta. Keesokan harinya atau pada 17 Agustus, Dading dan anggota Satsus Intel kembali ke Jakarta dan menerima pujian atas kerja mereka.
Dokumen rahasia yang dibawa Mayor Soares mengonfirmasi bahwa Portugal berniat untuk melepaskan Timor Timur dan meninggalkan begitu saja. Salah satu surat penting memerintahkan agar sang Gubernur Militer Timor mengungsikan semua pasukan Portugal ke Ilhe de Atauor atau Pulau Kambing, sekitar 16 kilometer di utara Timor.
“Pada 23 Agustus, petugas-petugas Konsulat Indonesia di Dili diungsikan melalui laut. Pada akhir bulan itu, personel pasukan khusus yang ditugaskan di Flamboyan mendapat izin memulai serangan militer lintas batas,” tutur Ken Conboy.
Dalam pandangan Rori Permadi, Indonesia melalui kekuatan ABRI masuk ke Timor Timur dengan dalih memulihkan situasi dan mencegah konflik berkepanjangan. Langkah itu tidak lepas dari konstelasi politik internasional di masa Perang Dingin.
Di masa ini ABRI mendapat persetujuan dari negara-negara Barat liberalis yang tidak ingin melihat Timor Timur merdeka di bawah pimpinan Fretilin dan berubah menjadi Cuba of Asia.
“Negara-negara tersebut tidak menginginkan adanya kekuatan komunis yang dapat membahayakan pengaruh liberalis terutama di wilayah Asia Pasifik,” kata Rori dikutip dari buku "Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal, dan Dinamika Internasional".
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait