BEKASI, iNewsBekasi.id- Serikat Pekerja (SP) PT PLN (Persero) menolak skema Power Wheeling dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT). Power Wheeling dinilai dapat menimbulkan dampak negatif signifikan, baik dari segi keuangan, hukum, teknis, maupun ketahanan energi.
Ketua Umum SP PT PLN (Persero) M Abrar Ali mengatakan, Power Wheeling, sebuah konsep yang telah lama dikenal dalam struktur liberalisasi pasar ketenagalistrikan. Skema yang menciptakan mekanisme Multi Buyer Multi Seller (MBMS) ini memungkinkan pihak swasta dan negara untuk menjual energi listrik di pasar terbuka atau langsung ke konsumen akhir.
"Power Wheeling terdiri dari dua jenis transaksi, yakni wholesale wheeling dan retail wheeling," katanya dalam siaran tertulis yang diterima bekasi.inews.id pada Jumat (13/9/2024).
Dia menjelaskan, wholesale wheeling terjadi ketika pembangkit listrik (baik milik swasta maupun negara) menjual energi listrik dalam jumlah besar ke perusahaan listrik atau konsumen di luar wilayah usahanya.
Sementara, retail wheeling memungkinkan pembangkit listrik menjual energi listrik langsung ke konsumen akhir di luar wilayah operasinya. Kedua model ini menggunakan jaringan transmisi dan distribusi sebagai "jalan tol" dengan skema open access, di mana semua pembangkit listrik dapat menggunakannya dengan membayar "Toll Fee".
Namun, lanjut dia, penerapan Power Wheeling dipandang dapat menimbulkan dampak negatif signifikan, baik dari segi keuangan, hukum, teknis, maupun ketahanan energi.
Dia menjelaskan, ada beberapa dampak negatif dari Power Wheeling di antaranya, penurunan permintaan listrik organik hingga 30% dan non-Organik dari pelanggan Konsumen Tegangan Tinggi (KTT) hingga 50%.
Hal ini akan berujung pada lonjakan beban APBN karena biaya yang harus ditanggung negara. Dia melanjutkan, setiap 1 GW (gigawatt) pembangkit listrik yang masuk melalui skema Power Wheeling diperkirakan akan menambah beban biaya hingga Rp3,44 triliun (biaya ToP + Backup cost), yang akan semakin memberatkan keuangan negara.
"Dampak akumulatif hingga 2030 diperkirakan akan meningkatkan beban Take or Pay (ToP) dari Rp317 triliun menjadi Rp429 triliun, atau terjadi kenaikan sebesar Rp112 triliun," ujarnya.
Tak itu saja Power Wheeling merupakan implementasi dari skema MBMS yang melibatkan unbundling. Namun, hal ini bertentangan dengan UU No. 20 Tahun 2002 yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2004.
"Skema ini juga akan menciptakan kompetisi di pasar penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum, yang berpotensi mengurangi peran negara dalam menjaga kepentingan umum di sektor ketenagalistrikan. Dan Power Wheeling dapat memicu perselisihan terkait harga, losses, frekuensi, dan volume yang dapat berdampak pada terhentinya pasokan listrik (blackout) dan merugikan masyarakat luas," paparnya.
Dia menerangkan, Power Wheeling juga akan memperparah oversupply. Saat ini, sistem ketenagalistrikan di Jawa dan Bali telah mengalami oversupply. Penerapan Power Wheeling berpotensi memperburuk kondisi ini, terutama karena pembangkit yang menggunakan energi baru terbarukan (EBT) bersifat intermiten dan tidak stabil.
"Power Wheeling yang bersumber dari EBT memerlukan spinning reserve tambahan untuk menjaga keandalan sistem, yang justru akan meningkatkan Biaya Pokok Produksi (BPP) dan harga jual listrik kepada konsumen," terangnya.
Dia menilai, dengan prioritas Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 pada pembangunan pembangkit EBT sebesar 51,6%, tidak ada urgensi untuk menerapkan Power Wheeling. Hal ini sesuai dengan rencana Net Zero Emission 2060 tanpa menambah risiko dari berbagai aspek.
"Konsep Power Wheeling dikhawatirkan akan digunakan dalam skema liberalisasi penyediaan listrik untuk kepentingan umum, yang pada akhirnya berpotensi melanggar Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, di mana cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara," ujarnya.
Dia menungkapkan, penerapan Power Wheeling justru dapat merugikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), APBN, dan konsumen secara akumulatif. Oleh karena itu, Power Wheeling dinilai lebih sebagai "benalu" dalam transisi energi, yang berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi jangka panjang bagi negara.
"Dengan memperhatikan berbagai perspektif ini, kebijakan Power Wheeling sebaiknya ditinjau kembali agar dampak negatif yang mungkin timbul dapat diminimalisir, demi menjaga kestabilan dan ketahanan energi nasional serta melindungi kepentingan ekonomi negara dan masyarakat," ucapnya.
Editor : Wahab Firmansyah
Artikel Terkait