JEMBATAN Bekasi yang berdiri kokoh di atas Kali Bekasi, bukan hanya sakadar infrastruktur yang menghubungkan sisi-sisi kota. Jembatan ini telah menjadi saksi perjalanan panjang perjalanan sejarah Bekasi.
Dibangun pada tahun 1890 oleh perusahaan kereta api Belanda Batavia Ooster Stoomtram Maatschappij (BOS). Jembatan ini awalnya menghubungkan Stasiun Bekasi dengan Stasiun Gunung Gede (kini Stasiun Cikarang).
Jembatan baja membentang di atas Kali Bekasi yang memiliki kedalaman sekitar 15 meter. Namun, jembatan ini tak hanya berperan dalam sejarah transportasi Indonesia.
Pada 19 Oktober 1945, Jembatan Bekasi menjadi saksi sebuah tragedi berdarah yang mengguncang daerah tersebut. Peristiwa itu kini dikenang sebagai Tragedi Kali Bekasi.
Usai Proklamasi kemerdekaan, situasi di Indonesia masih sangat tegang. Tentara Jepang, yang sebelumnya menjajah Indonesia, menghadapi kebencian mendalam dari rakyat yang baru saja memproklamirkan kebebasan.
Berdasarkan catatan sejarah yang dicatat Pemkot dan Pemkab Bekasi menyebutkan terjadinya kekacauan pada tahun itu, sebuah kereta api yang membawa 90 tentara Kaigun (angkatan laut Jepang) melintasi jalur kereta di Stasiun Bekasi.
Letnan Dua Zakaria Burhanuddin, yang bertugas di wilayah itu, mendapat perintah dari Jakarta untuk membiarkan kereta melintas dengan aman. Namun, ia memutuskan untuk mengabaikan instruksi tersebut.
Zakaria justru memerintahkan Kepala Stasiun Bekasi untuk mengalihkan kereta ke jalur buntu. Akibatnya, sembilan gerbong kereta yang membawa tentara Jepang itu dihentikan di tengah jalur.
Kabar keberadaan tentara Jepang tersebut segera menyebar.
Dalam hitungan menit, rakyat dan para pejuang berkumpul di lokasi. Mereka menyerbu kereta, memulai pertempuran sengit. Kali Bekasi menjadi saksi pertumpahan darah antara tentara Jepang dan rakyat Bekasi.
Setelah perlawanan singkat, massa berhasil menguasai kereta. Mereka merampas senjata dan barang-barang milik para serdadu Jepang. Tentara Jepang yang tersisa, sejumlah 90 orang, ditawan dan digiring ke sebuah sel sementara.
Namun, emosi rakyat yang membara sulit dikendalikan. Tanpa berkonsultasi dengan Komandan Resimen V TKR, Mayor Sambas, massa mengambil keputusan tragis. Empat jam setelah kereta dihentikan, para tawanan Jepang itu digiring ke tepi Kali Bekasi.
Di sana, satu per satu dari mereka dieksekusi secara brutal. Tubuh mereka dihanyutkan ke sungai, menjadikan air Kali Bekasi berwarna merah darah. Tragedi ini menjadi salah satu momen kelam dalam sejarah perjuangan Bekasi.
Meski tindakan tersebut mencerminkan amarah rakyat terhadap penjajahan, ia juga menyisakan luka sejarah yang kompleks. Sebagian memandangnya sebagai aksi balas dendam yang tak terhindarkan, sementara lainnya menganggapnya sebagai pelanggaran moral.
Saat ini, Jembatan Bekasi masih berdiri kokoh, meskipun telah mengalami pemugaran dan modernisasi. Selain menjadi jalur vital bagi kereta api jarak jauh dan KRL, jembatan asli dari masa Belanda ini kini telah dijadikan bangunan cagar budaya.
Di dekatnya, sebuah monumen kecil dibangun untuk mengenang peristiwa Tragedi Kali Bekasi, mengingatkan generasi masa kini akan perjuangan dan luka yang pernah terjadi di tempat itu. Kali Bekasi merupakan sungai alam peninggalan Kerajaan Tarumanegara.
Editor : Wahab Firmansyah
Artikel Terkait