BEKASI, iNewsBekasi.id - Di Kota Bekasi yang kini hiruk-pikuk dengan lalu lintas manusia dan kendaraan, berdiri sebuah stasiun tua yang penuh cerita. Stasiun Bekasi di Kecamatan Bekasi Utara ini punya arsitektur khas era kolonial dan menjadi saksi bisu perjalanan sejarah panjang kereta api.
Kisah Stasiun Bekasi dimulai pada akhir abad ke-19, di masa Hindia Belanda. Pada saat itu, Batavia (sekarang Jakarta) adalah pusat ekonomi dan pemerintahan yang ingin terhubung dengan daerah-daerah di sekitarnya melalui jalur kereta api.
Pemerintah kolonial memberikan izin kepada perusahaan kereta swasta Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschappij (BOS) untuk membangun jalur ke arah timur, menghubungkan Batavia dengan Karawang.
Berdasarkan catatan PT Kerata Api Indonesia Heritage menyebutkan, pembangunan dimulai dengan rencana yang ambisius, membagi proyek ke dalam empat tahap: Batavia-Bekasi, Bekasi-Cikarang, Cikarang-Kedunggede, Kedunggede-Karawang.
Tahap pertama rampung pada tahun 1887, dan bersamaan dengan itu, berdirilah Stasiun Bekasi sebagai pemberhentian penting di jalur tersebut. Peresmian dilakukan pada 31 Maret 1887, menjadikannya salah satu stasiun kereta api tertua di Pulau Jawa.
Awalnya, operasional Stasiun Bekasi dipegang oleh BOS. Namun, proyek jalur ke Karawang menghadapi masalah besar: dana yang menipis dan manajemen yang buruk. BOS akhirnya meminta bantuan keuangan dari pemerintah Hindia Belanda.
Pemerintah setuju membantu dengan syarat, setelah jalur selesai, seluruh aset BOS, termasuk Stasiun Bekasi, diambil alih oleh Staatsspoorwegen (SS), perusahaan kereta api negara. Sejak itu, Stasiun Bekasi menjadi bagian dari jaringan besar Staatsspoorwegen.
Pada awal abad ke-20, stasiun ini melayani delapan perjalanan setiap harinya, menghubungkan Batavia dengan Karawang. Perjalanan dari Batavia ke Bekasi memakan waktu sekitar dua jam lebih sedikit.
Massa Hindia Belanda, perjalanan kereta api cerminan stratifikasi sosial. Tarif kereta api berbeda-beda sesuai kelas: Kelas 1 (Eropa): 1,7 gulden, Kelas 2 (Cina dan Arab): 0,8 gulden, Kelas 3 (Pribumi dan campuran): 0,45 gulden, dan Kelas khusus Pribumi (Inlanders): 0,26 gulden.
Penumpang kelas atas menikmati kursi nyaman, sedangkan kelas bawah berdesakan di gerbong kayu sederhana. Namun, semua merasa terhubung dalam satu perjalanan, menyusuri jalur rel yang membelah persawahan.
Setelah Indonesia merdeka, Stasiun Bekasi terus berkembang. Pada tahun 1954, melalui Surat Keputusan Djawatan Kereta Api, stasiun ini diklasifikasikan sebagai stasiun kelas 4. Status ini menentukan fasilitas yang tersedia dan kapasitas layanan transportasinya.
Kini, Stasiun Bekasi telah jauh berbeda. Dengan lima jalur aktif dan sebuah depo KRL di dekatnya, stasiun ini melayani ribuan penumpang komuter setiap hari, baik menuju Jakarta maupun ke arah timur, seperti Cikampek dan Purwakarta.
Meski telah beradaptasi dengan zaman modern, Stasiun Bekasi tetap menyimpan jejak masa lalu. Setiap sudutnya menyimpan kisah: deru mesin uap, riuh rendah penumpang yang naik-turun, hingga suara peluit yang memecah pagi.
Stasiun ini bukan hanya bangunan, ia adalah saksi sejarah, menghubungkan masa lalu dengan masa kini, dan membawa harapan ke masa depan. Stasiun Bekasi, yang dibangun di tengah ambisi kolonial, kini berdiri sebagai simbol transportasi yang memajukan Indonesia.
Bagi para penumpang yang melintas, mungkin hanya sekadar tempat singgah, tapi bagi mereka yang mendalami sejarah, Stasiun Bekasi adalah jembatan waktu yang menghubungkan era kolonial dengan era modern.
Editor : Abdullah M Surjaya
Artikel Terkait