PERJUANGAN rakyat Palestina menjadi titik awal adik ipar mantan perdana menteri Inggris Tony Blair ini memutuskan untuk memeluk Islam, mualaf pada 2010.
Lauren Booth perjuangannya mencari kebenaran hakiki sebuah agama dan menemukan sinar hidayah dari Allah Ta'ala sangat berliku.
Lauren Booth terlahir dari latar belakang keluarga selebriti yang memiliki popularitas dan tak percaya dengan agama. Namun, dia justru tumbuh menjadi orang yang berkeyakinan bahwa ada satu Tuhan di dalam hidupnya.
Melihat anaknya berbeda dengan anggota keluarga lain, sang ibu pun bingung. Dia bahkan sempat berdiskusi dengan anggota keluarga terkait sosok Lauren yang menjadi ekstrimis dalam beragama.
Menginjak usia 20 tahun, Lauren menjadi artis terkenal. Mungkin hal itu terjadi karena sang kakak ipar adalah seorang perdana menteri.
Di sisi lain, dia yakin bahwa dirinya memang memiliki bakat yang mumpuni hingga menarik perhatian khalayak. Namun, ketenaran itu justru menjadi racun dalam dirinya.
"Selebritas membuat ketagihan. Aku paham soal narkoba, paham soal minuman keras. Tapi status selebritas dan media sosial lebih membuat ketagihan, seperti gula," kata Lauren Booth, dikutip dari kanal YouTube Ape Astronaut, Sabtu (6/11/2021).
Hidayah Islam itu perlahan muncul pada tahun 2000, ketika dia melahirkan anak pertamanya. Suatu malam, dia menonton berita di televisi yang menyiarkan tentang kabar Palestina. Dalam siaran itu, Lauren melihat anak laki-laki berusia 15 tahun dengan berani melemparkan batu di depan sebuah tank. Bukannya kabur untuk lari, anak itu justru menghampiri tank tersebut.
"Jika tank itu mengarah pada kita, dalam situasi di mana kita berada sekarang. Kita akan lari ke arah berlawanan kan. Itu insting manusia. Tapi anak laki-laki kecil ini dengan sebuah batu di tangannya malah maju mendekati tank tersebut. Aku hanya berkata dalam hari: 'Larilah wahai bocah Timur Tengah yang aneh. Wahai anak asing aneh yang berada di tempat penuh debu dan kamp-kamp pengungsi. Pulanglah! Pulang! Ibumu telah menantikanmu'," ujar Lauren.
Kemudian berita tersebut menampakkan pemandangan foto keadaan Kota Gaza. Rumah-rumah di sana tampak sudah hancur lebur karena serangan-serangan Israel.
Dia merasa miris melihat foto tersebut. Sepuluh hari kemudian, dia mengetahui bahwa Faris Odeh, yakni bocah kecil tersebut, ditembak mati oleh sniper asal Israel.
Dia pun terkejut dan sangat sedih. Lima tahun kemudian, Lauren mendapatkan tugas ke Palestina. Ketika itu dia tengah tinggal di Prancis dengan suami yang baik, 2 putrinya yang cantik, dan rumah besar lengkap dengan kolam renang. Namun, entah mengapa, di dalam benak hatinya justru menyuruhnya untuk pergi ke Palestina.
"Kami tinggal di salah satu tempat terindah juga paling damai yang ada di seluruh penjuru bumi milik Allah ini. Dan aku ingin pergi ke Palestina? Apa artinya itu? Itulah yang disebut dengan 'sebuah panggilan'," kata Lauren.
Pada tahun 2005, akhirnya dia pergi ke Palestina. Tiga hari setelah sampai di sana, Lauren melakukan perjalanan mengelilingi Tepi Barat sendirian.
Rupanya para kru media tempatnya bekerja lupa mengingatkan Lauren untuk tetap berada di dalam kamar. Seharusnya dia tidak diperbolehkan jalan-jalan sendiri dan bertemu orang Muslim.
"Media tempatku bekerja lupa memberitahuku: 'Begini caramu pergi ke Palestina. Kamu tetap di kamar hotel, telepon mereka dan mereka akan mendatangimu. Jangan keluar. Jangan bertemu dengan para Muslim, mereka berbahaya. Kamu bisa diculik, hilang dan tak bisa kembali. Mereka akan membohongimu'," kata Lauren.
Meski demikian, Lauren tak melakukan hal tersebut. Dia justru menyapa ramah para Muslim, bahkan sempat melakukan perjalanan bersama dengan mereka.
Setelah mengelilingi Tepi Barat sendirian, Lauren melihat kenyataan yang berbeda dengan media.
Terdapat tiga hal yang langsung muncul dalam benak Lauren. Pertama, kenyataan bahwa selama ini orang-orang telah ditipu oleh media mengenai berita orang Muslim. Kedua, Lauren selama ini tak tahu apa pun tentang ajaran Kristen, justru orang Muslim yang lebih mengenal Yesus daripada dirinya. Ketiga, Lauren merasa harus membaca Alquran setelah melihat perilaku orang Muslim sangat ramah dan baik kepada dirinya yang merupakan orang asing. Meski demikian, dia belum yakin untuk menjadi mualaf.
Pada tahun 2009, keluarga Lauren mengalami masa-masa traumatis. Pada bulan Januari, dia memiliki seorang suami, rumah yang besar dan pekerjaan yang tetap. Namun di bulan Oktober, dia tak memiliki suami, rumah, dan juga menjadi pekerjaan tetap. Dia benar-benar tidak memiliki apa pun saat itu, bahkan hampir kehilangan anak-anaknya.
"Hingga sampai pada sebuah titik di sekitar bulan Oktober 2009, saat aku tinggal di sebuah kamar sewaan di London yang aku tak mampu untuk membayarnya, tak memiliki mobil, ditambah dengan adanya tuntutan di pengadilan yang mencoba merenggut anak-anak dariku. Lalu saat itu bersujud dan berkata: 'Ya Allah, aku hanya minta anak-anakku saja'," tutur Lauren.
Pada tahun 2010, Lauren pergi ke Iran sebagai jurnalis. Hingga suatu ketika dia berakhir dalam sebuah masjid saat bulan Ramadhan. Lauren duduk di dalam masjid tersebut dan merasa sedang berada di sebuah air terjun kedamaian.
Sejak itu, dia merasa tenang dan yakin bahwa segalanya akan baik-baik saja. Seminggu kemudian dia kembali ke London dan berjalan memasuki sebuah masjid. Pada saat itulah dia mantap untuk memeluk agama Islam dan resmi menjadi seorang mualaf.
"Sepekan kemudian, sekembaliku ke London, aku berjalan memasuki sebuah masjid. Aku menyatakan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah serta tak ada sekutu bagi-Nya, dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya yang terakhir. Lalu tiba-tiba pada Jumat malam, aku menjadi seorang Muslimah. Allahu Akbar," pungkasnya. Wallahu a'lam bishawab.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta