JAKARTA, iNews.id - Institut Teknik Bandung (ITB) dan Inovasi Nasional (BRIN) beri peringatan soal potensi terjadinya gempa megathrust berkekuatan M 8,7 di Selat Sunda. Prediksi ini pun banyak dikaitkan dengan tsunami di Banten 2018 lalu dan gempa M 6,6 di Pandeglang, Banten 14 Januari 2022 kemarin.
Terkait hal ini, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memastikan bahwa kedua bencana itu tidak terkait megathrust. Koordinator Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono menjelaskan gempa 16 Januari kemarin tidak terjadi di bidang kontak, karena megathrust atau seduksi itu terjadi di bidang kontak.
Daryono menjelaskan pada dasarnya di Selat Sunda, sudah hampir 300 tahun lebih tidak terjadi gempa besar. Hal ini yang masih belum diketahui oleh BMKG.
Padahal, kalau melihat gempa M 7,8 dan tsunami di Pangandaran 2006 lalu dan Bengkulu M 8,5 gempa dan tsunami pada 2007 lalu, sumbernya kejadiannya sama.
“Artinya, masih ada proses akumulasi mega tegangan, akumulasi energi yang itu belum rilis. Itu yang kita khawatirkan, itu yang kita sebut seismic gap, kekosongan gempa dianggap karena zona potensi gempa besar,” ungkap Daryono dalam Polemik MNC Trijaya FM bertajuk “Waspada Gempa Megathrust dan Bencana Hitrometrologi” secara daring, Sabtu (22/1/2022).
Kemudian, kata dia, gempa dan tsunami di Banten 2018 lalu juga sama sekali tidak ada kaitannya dengan megatrhust ini. Sebab, bencana itu disebabkan oleh plank collapse, yang mana runtuhnya badan gunung sehingga material gunung yang runtuh menimbulkan tsunami.
Sebagai catatan, Daryono mengungkap bahwa di Selat Sunda sudah terjadi sebanyak 10 kali tsunami, baik yang disebabkan oleh gempa maupun oleh erupsi Gunung Krakatau. Untuk yang disebabkan oleh gempa terjadi tahun 1722, 1852 dan 1958. Dan akibat erupsi Krakatau sebanyak 3 kali termasuk yang paling populer tahun 1803.
“Akibat erupsi Krakatau tahun 416, ada di kitab raja-rajanamanya Kitab Raja Purwa, kalau nggak salah. 1803 itu letusan yang populer katastropik, selain material tumpah yang kontak dengan air laut, katastropik meletusnya seperti mercon, dan 1928,” paparnya.
Selain itu, Daryono menambahkan, tsunami akibat longsoran gunung Krakatau terjadi 4 kali, yakni 1851, 1883, 1889, dan terakhir 2018 kemarin sudah 10 kali. Dia mengakui bahwa dari beberapa kejadian
Namun tentu, lanjut dia, tidak boleh pesimistis karena yang terpenting adalah memetakan mitigasi guna menjamin keselamatan masyarakat.
“Di sana ada potensi multihazard, kita tdk boleh pesimis atas apa yang terjadi, kita perlu memetakan mitigasi yang akhirnya bisa menjamin keselamatan masyarakat, kita akan lakukan,” tutup dia.
Editor : Eka Dian Syahputra