JAKARTA, iNewsBekasi.id - Seruan Badan Pangan Nasional (Bapanas) agar masyarakat mengurangi pemborosan pangan demi menekan impor beras dinilai sulit diwujudkan. Terlebih, seruan ini muncul di tengah mencuatnya dugaan skandal denda impor beras sebesar Rp294,5 miliar yang melibatkan langsung Kepala Bapanas.
Prof. Akhmadi dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa menyoroti hal ini. Menurutnya, solusi yang lebih efektif adalah memberikan edukasi kepada masyarakat tentang beragam pilihan pangan selain beras. "Masyarakat perlu diberi pemahaman yang baik agar tidak selalu bergantung pada beras," ujarnya.
Bapanas memang telah merilis data yang menunjukkan tingginya angka pemborosan pangan di Indonesia, mencapai 30%. Namun, Prof. Akhmadi berpendapat bahwa mengatasi masalah ini tidak cukup hanya dengan mengimbau masyarakat untuk tidak boros. "Pemerintah harus proaktif dalam memperkenalkan dan mengembangkan produk-produk pangan alternatif seperti jagung dan sagu," tegasnya.
Ketergantungan masyarakat pada beras yang sudah tertanam kuat menjadi salah satu kendala utama dalam upaya mengurangi impor beras. "Selama beras masih menjadi pilihan utama, menekan impor akan tetap sulit," tambah Prof. Akhmadi.
Sebelumnya, Sekretaris Utama Bapanas, Sarwo Edhy, telah menyampaikan program 'setop boros pangan' sebagai salah satu solusi untuk mengurangi impor beras. Namun, program ini dinilai kurang komprehensif dan perlu didukung oleh upaya-upaya lain seperti diversifikasi pangan dan peningkatan produksi pangan lokal.
Sarwo Edhy mengatakan pihaknya kini terus mendorong masyarakat untuk menghemat pangan. Sebab, program setop boros pangan bisa membuat pemerintah tidak lagi mengimpor beras.
"Artinya kalau kita bisa hemat setop boros pangan, ini insyaallah kita tidak impor. (Ini) yang kita harus pahami," kata dia, Senin,(29/7/2024).
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta