JAKARTA, iNewsBekasi.id - Perkumpulan Lintas Profesi Indonesia (PLPI) mendorong agar pemerintah Presiden Prabowo Subianto dapat melakukan modernisasi Real Estate Invesment Trust (REIT).
Pasalnya, dengan langkah tersebut akan mempercepat pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Apalagi, Prabowo menargetkan pertumbuhan ekonomi di atas 5% setiap tahunnya.
Ketua PLPI, Nur Ajis mengatakan hal itu untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, Indonesia perlu mempercepat pendewasaan industri real estatenya agar siap menerapkan konsep-konsep sekuritisasi yang mutakhir.
“Langkah pertama yang harus dilakukan adalah melakukan modernisasi Real Estate Invesment Trust (REIT), agar selaras dengan konsep yang lebih modern,” ujar Nur Ajis kepada wartawan, Jumat (6/12/2024).
Menurut Nur Ajis, Reit adalah pintu gerbang bagi Indonesia supaya instrumen sekuritisasi lainnya bisa mulai diimplikasikan di dalam negeri. Maka dari itu, perlu ada harmonisasi peraturan dari seluruh regulator.
"Untuk melakukan modernisasi REIT, dibutuhkan sinkronisasi peraturan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Direktorat Jenderal Pajak (DJP), dan Bursa Efek Indonesia (BEI),” jelasnya.
Nur Ajis menambahkan jika berkaca dengan perkembangan industri real estate di Amerika Serikat sudah sangat maju serta didukung dengan banyaknya instrument sekuritisasi yang tersedia untuk menunjang industri tersebut seperti Tax Increment Financing, Joint Venture, dan Real Estate Invesment Trust (REIT).
“Sebagai contoh, anggaplah untuk membangun sebuah gedung perkantoran suatu pengembang membutuhkan dana sebesar USD100 juta. Dalam proyek ini, pengembang tersebut hanya membutuhkan modal sebesar USD4 juta dan sudah bisa balik modal dalam waktu 3 tahun,” tegas Nur Ajis.
Sementara itu, Pengamat Properti dari Cornell University Amerika Serikat, Abdullah Syarifuddin mengatakan untuk meningkatkan volume transaksi investasi di industri real estate ada beberapa hal yang dapat dilakukan misalkan biaya konstruksi gedung sebesar USD60 juta atau 60% dari total nilai proyek yang sepenuhnya dibiayai dengan utang melalui pinjaman konstruksi dari perbankan. Sehingga, pinjaman ini hanya memerlukan pembayaran bunga saja yang dalam hal ini adalah sebesar 6% per tahunnya.
“Bunga ini biasanya dua kali lipat lebih besar dari bunga pada umumnya karena, belum adanya aset yang dapat dijaminkan sebagai agunan,” tandas Abdullilah.
Kemudian, sisa dana sebesar USD40 juta yang dibutuhkan berasal dari ekuitas di mana biasanya pengembang hanya perlu memasukan modal sebesar 10% atau USD4 juta dan sisanya sebesar USD36 juta atau 90% dibiayai oleh pihak lainnya melalui skema joint venture.
“Dalam skema ini, pengembang disebut sebagai General Partner yang memimpin proyek. Sementara, pihak lainnya seperti dana pensiun, perusahaan asuransi atau private equity, disebut dengan Limited Partner,” terangnya.
Untuk diketahui, industri real estate adalah industri yang padat modal dimana membutuhkan banyak dana untuk beroperasi. Nyatanya di Indonesia, belum ada lembaga pemerintah yang secara khusus ditugaskan untuk memperhatikan industri ini.
Hal ini justru, sangat berbeda dengan di Amerika Serikat (AS) yang mana industri tersebut mendapatkan perhatian besar dari pemerintah, baik di tingkat pusat (federal), negara bagian (state), maupun kota atau kabupaten (municipalities).
Editor : Abdullah M Surjaya