Kisah Mama Cibogo Cibarusah, Ulama Falak yang Menjadi Rujukan Penentu Awal Ramadhan dan Idulfitri

BEKASI, iNewsBekasi.id – Bekasi merupakan wilayah bagian Provinsi Jawa Barat berada di Timur DKI Jakarta dan Selatan Bogor. Siapa sangka, wilayah yang dikenal kawasan industri terbesar di Asia Tenggara itu pernah dibully warganet beberapa tahun silam.
Kala itu, Bekasi disebut sebagai negara api karena memiliki cuaca sangat panas berada diluar planet bumi yang berdekatan dengan matahahari.
Meski dianggap sebelah mata, Bekasi kini tumbuh menjelma sebagai Kota Metropolitan penyangga dan mitra strategis DKI Jakarta.
Dengan jumlah penduduk tujuh juta orang lebih, Bekasi disebutkan pernah menjadi pusat peradaban dan Ibu Kota dari Kerajaan Tarumanegara. Rakyat Bekasi ikut andil besar dalam berjuang dalam kemerdekaan Republik Indonesia.
Dari perjuangan itu, lahirlah seorang pejuang maupun jawara hingga sosok tokoh pemuka agama yang ikut berperang hingga darah penghabisan melawan penjajah, yakni KH Noer Ali dari Utara Bekasi dan KH Ma’mum Nawawi dari Selatan Bekasi.
Atas perjuangannya dan jasa-jasanya dalam memerdekakan Indonesia, KH Noer Ali mendapatkan gelar sebagai pahlawan nasional. Namun, perjuangan KH Noer Ali tak lepas dari peran besar dari KH Ma’mum Nawawi.
Ulama yang berasal dari wilayah Kecamatan Cibarusah, Kabupaten Bekasi ini dikenal dengan nama sebutan Mama Cibogo. Dia merupakan sosok ulama ahli falak dan seorang pendiri Pondok Pesantren Al-Baqiyatus Sholihat.
Kali ini, iNews Bekasi secara khusus mengulas sejarah lahir dan perjuangan dari KH Ma’mum Nawawi mulai dari perjalanan hidupnya hingga menjadi ulama dan menjadi salah satu pendiri Laskar Hizbullah dan ulama sesepuh Nahdlatul Ulama (NU).
Laskar Hizbullah merupakan kesatuan perjuangan semi-militer yang ikut berpartisipasi dalam Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya yang digembleng di Bekasi 28 Februari tahun 1945. Pelatihan dilakukan di Perkebunan Karet Cibarusah, ketika itu masih masuk Bogor.
Pelatihan diikuti sekitar lima ratus pemuda dan santri. Setiap Pesantren se-Jawa dan Madura mengirim lima orang terbaik menjadi utusan untuk mengikuti pelatihan.
Pertanyaannya, kenapa pelatihan Laskar Hizbullah itu tidak dilaksanakan di Jawa Timur saja?
Salah satunya adalah karena lokasi Cibarusah yang strategis dan dekat dengan Pusat Pemerintahan militer Jepang. Selain itu, lantaran Mama Cibogo (Cibogo adalah nama kampung di Cibarusah) yang secara emosional sangat dekat dengan KH Hasyim Asy’ari.
Bahkan, pada masa perang kemerdekaan periode 1945-1949, Mama Cibogo menjadi penasihat rohani dan kebatinan para pejuang kemerdekaan Laskar Hizbullah. Atas dedikasinya itu, Mama Cibogo sangat pantas mendapatkan gelar pahlawan nasional bersama KH Noer Ali.
Dikutip dari buku Peranan KH Raden Ma’mun Nawawi dan Laskar Hizbulloh (2019) karya Ahmad Djaelani, Andi Sopandi, dan Faiz Taufik Nawawi. Disebutkan Mama Cibogo lahir pada Kamis, Jumadil Akhir 1330 Hijriah atau tahun 1912 Masehi.
Dia lahir dari pasangan KH Raden Anwar dan Ny Hj Romlah. Dari nasab ayahnya, Mama Cibogo terhubung hingga Rasulullah. Ia masih keturunan ke-12 dari Sunan Gunung Djati atau ke-11 dari Raja Pertama Kesultanan Banten Maulanan Hasanuddin.
Bahkan, nasabnya masih keturunan ke-24 dari Rasulullah. Alhasil, Banten dengan Kampung Cibogo memiliki kedekatan secara kultur karena sama-sama berada di Tatar Pasundan. Sejak kecil, Mama Cibogo dikenal sebagai seorang yang sangat giat belajar.
Guru pertamanya, tentu sang ayah, Kiai Raden Anwar. Hingga usia delapan tahun, ia digembleng oleh ayahnya untuk belajar memahami dasar-dasar agama. Selanjutnya dia belajar memperdalam agama tetapi mulai belajar di Sekolah Rakyat (SR) di bawah pemerintahan Hindia Belanda.
Mama Cibogo menjadi lulusan terbaik dan memiliki keilmuan umum yang unggul. Setelah itu, ia tak langsung melanjutkan pendidikannya ke pondok pesantren.
Namun terlebih dulu, membantu ayahnya berjualan kitab dan kemudian mengajar ilmu agama untuk masyarakat sekitar.
Barulah pada usia 15 tahun, Mama Cibogo mondok di Pesantren Plered Purwakarta, Pimpinan KH Tubagus Ahmad Bakri As-Sampuri atau Mama Sempur, ulama NU yang berpengaruh di Jawa Barat dan Banten.
Ada satu kejadian menarik saat belajar dengan Mama Sempur. Saat itu, Mama Cibogo tidak banyak bicara tetapi fokus belajar kitab dan mengaji, hingga lupa untuk keluar pondok. Mama Cibogo mau keluar kalau disuruh Mama Sempur seperti mengambil air dan bercocok tanam.
Setelah dirasa cukup berguru kepada Mama Sempur, Mama Cibogo lantas melanjutkan untuk menimba ilmu ke Mekkah. Di sana, ia belajar banyak ke mualim para pengarang kitab yang mumpuni dalam dunia pendidikan islam.
Di antaranya, Sayyid Alwi Al-Maliki dan Syekh Mukhtar bin Atharid Al-Bughuri Al-Batawi Al-Jawi Al-Makki. Kemudian sepulangnya dari Mekkah, Mama Cibogo langsung belajar ke beberapa pesantren di Tanah Jawa.
Salah satu tujuannya adalah Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur dan belajar langsung kepada Hadlratussyekh KH Hasyim Asy’ari. Singkatnya, keilmuan Mama Cibogo diakui oleh KH Hasyim Asy’ari yang merupakan pendiri Nahdlatul Ulama (NU).
Tak hanya disitu, Mama Cibogo melanjutkan nyantri ke Pesantren Jampes, Lirboyo, dan Termas, Kiai Hasyim menyembelih seekor sapi sebagai bentuk syukur karena punya murid secerdas KH Raden Ma’mun Nawawi itu, yang kelak menjadi seorang ulama ahli falak dan tafsir.
Setelah mesantren di Jampes, Lirboyo, dan Termas, Mama menekuni Ilmu Falak ke Jembatan Lima dibimbing langsung Guru Mansur. Karena kecerdasannya, Guru Mansur menganggap Mama Cibogo sebagai murid paling cerdas dan mengangkatnya satu level dari teman sebayanya.
Kemudian, dia juga belajar ke ulama Betawi lainnya seperti Habib Usman dan Habib Ali Kwitang. Setelah berguru di Jakarta, ia menikahi putri Mama Sempur. Lalu tak lama berselang, ia mendirikan sebuah pesantren di Pandeglang.
Namun di sana tak lama, ia diminta untuk kembali ke Kampung Cibogo, Cibarusah. Ia lantas mendirikan Pesantren Al-Baqiyatus Sholihat di Cibogo pada 1938 yang kemudian menjadi tempat berlatih Laskar Hizbullah pada Februari 1945.
Saat ingin mendirikan pesantren, Mama Cibogo banyak menulis, memproduksi, dan menjual berbagai kitab. Untuk membiayai pesantren, ia kemudian membuat dan menjual berbagai kebutuhan masyarakat seperti kecap dan jamu.
Setelah didirikan, banyak orang Pandeglang, Banten yang ikut hijrah atau datang belajar ke Al-Baqiyatus Sholihat. Sehari-hari, Mama Cibogo hanya fokus di pesantren. Banyak pengajian digelar yang tidak hanya diperuntukkan bagi santri-santrinya saja.
Mama Cibogo memiliki kebiasaan menukil kitab. Sebanyak 63 kitab yang ditulis, lantaran rajin membaca karya ulama terdahulu dan dinukil untuk menjadi referensi. Mama juga banyak menulis kitab dengan aksara arab berbahasa Sunda.
Beberapa hasil karya tulisannya yang terkenal adalah Hikayat al-Mutaqaddimin, Kasyf al-Humum wal Ghumum, Majmu’at Da’wat, Risalah Zakat, Syair Qiyamat, dan Risalah Syurb ad-Dukhan.
Bahkan dia menjadi rujukan masyarakat maupun pemerintah untuk bercocok tanam, memulai puasa dan lebaran, maka rujukan utamanya adalah Mama Cibogo. Bahkan, dalam catatan sejarah tempat bermukimnya di Kampung Cibogo arena pelatihan Laskar Hizbullah.
Sejak berakhirnya perang kemerdekaan, Mama Cibogo memang fokus membangun pesantrennya. Kemudian membuka jejaring kembali dengan KH Muhammad Thohir Rohili, Habib Ali Kwitang, dan Guru Mansur.
Ulama-ulama Betawi inilah yang kemudian memperbanyak karya Mama Cibogo untuk disebarkan ke masyarakat. Selanjutnya, ia juga membangun dan memiliki kedekatan dengan para jawara di Tanah Betawi.
Salah satunya adalah Abah Ghozali Guntung yang merupakan murid Mama Cibogo dari Banten. Dari semua pelajaran ilmu agama yang sudah didalami, Ilmu Falak adalah ciri khasnya. Kevalidan data dalam memprediksi sesuatu diakui ulama-ulama lain.
Bahkan, setiap Selasa pagi, dibuka pengajian khusus bagi ustaz atau kiai kampung. Rabu untuk orang-orang yang sudah lanjut usia. Jumat pagi, pengajian dibuka untuk kalangan ibu. Sedangkan Ahad untuk umum.
Pesantrennya itu hingga kini dikenal dengan Pesantren Falak. Pesantren Al-Baqiyyatus Sholihat Cibogo, Cibarusah, dikenal dengan pelopor almanak (kalender) disebarkan di Bogor, Bekasi, Banten, dan Jakarta.
Selain beraktivitas sebagai pemuka agama dan pemimpin pesantren, ia juga berprofesi sebagai wirausahawan. Mama Cibogo wafat pada usia 63 tahun, pada 26 Muharram 1395 atau 7 Februari 1975 dengan meninggalkan 40 anak dan empat istri.
Jenazahnya disalatkan langsung teman seperjuangannya KH Noer Ali Bekasi. Kini, di Bekasi dikenal memiliki dua patok. Di sebelah utara ada KH Noer Ali dan selatan ada Mama Cibogo. Hingga kini, Mama Cibogo dikenal pahlawan dan sang singa dari Selatan Bekasi.
Editor : Wahab Firmansyah