SARUNG sudah menjadi identitas terutama Muslim dan santri di Indonesia. Ada sebutan, bukan santri namanya kalau belum pakai sarung. Bahkan ada istilah santri kaum sarungan.
Soal sarung dan santri ada kisah humor namun menarik disimak. Kisah ini ditulis di buku "Humor Para Kiai: Menebar Tawa Menuai" Hikmah karya Chalis Anwar.
Nah begini cerita dari buku itu. Tersebutlah keakraban dengan sarung tadi ditunjukkan oleh seorang mahasiswa Universitas al-Azhar asal Indonesia. Sehari-hari ia selalu memakai sarung ketika berjalan-jalan di sekitar Kota Thanta, Mesir maupun ketika ke kampus.
Penampilan mahasiswa ini tak ayal menjadi pusat perhatian semua orang. Mereka berbisik-bisik sambil memandangi si pemuda. Ada pula yang sampai tertawa terbahak-bahak.
"Belum mandi junub sudah keluyuran ke pasar!" teriak salah satu dari mereka.
Si pemuda sebenarnya merasa risih, tapi ia tetap cuek karena menggenggam pesan dari sebuah tausiyah KH. Maimoen Zubair yang pernah didengarnya, "Mengikuti kebiasaan kaum Muslimin itu penting. Contohnya sarung yang sejarahnya dari Birma atau Myanmar. Tapi sekarang jadi pakaiannya kiai dan santri. Ya, nggak usah nanya dalilnya. Masak mau pakai sarung nyari dalil dulu?" lanjut Mbah Moen.
Maka, tradisi sarungan sudah dianggap jati diri oleh si pemuda. Namun, saat di negeri orang kelakuannya menyalahi tradisi setempat.
Sampai kemudian dosennya yang seorang profesor menghampiri. "Kamu kalau kemana-mana pakai celana. Saya tahu kalau di Indonesia sarung adalah pakaian tholabul 'ilmi (belajar)-nya santri. Tapi kalau di sini itu pakaian jimak (berhubungan badan)," kata sang profesor.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta