get app
inews
Aa Text
Read Next : Kasus Ivan Sugianto Persekusi Siswa SMAK Gloria 2, Sahroni: Segera Proses, Jangan Ada Intervensi!

Komnas Perlindungan Anak Desak Badan POM Labeling BPA Free

Rabu, 06 Oktober 2021 | 12:52 WIB
header img
Massifnya penggunaan bahan kimia Bisfenol A atau yang dikenal BPA dalam pembuatan plastik mendapat sorotan tajam dari Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait. (Foto: Shutterstock/Ilustrasi)

JAKARTA,iNews.id – Massifnya penggunaan bahan kimia  Bisfenol A atau yang dikenal BPA dalam pembuatan plastik mendapat sorotan tajam dari Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait. 

“Komnas PA sangat konsern terhadap perlindungan anak-anak dari bahaya penggunaan  bahan kimia BPA bagi kesehatan anak-anak,” jelasnya. 

Hal tersebut disampaikan dalam diskusi dengan tema “ Urgensi Label BPA Bagi Kesehatan” yang diselenggarakan secara daring melalui zoom conference, Selasa, 5 Oktober 2021.  Arist melanjutkan Komnas PA dalam beberapa bulan ini melakukan sosialisasi terhadap penggunaan BPA dalam produksi plastik. 

“Masih banyak masyarakat yang belum paham terkait dengan produk-produk plastik dan dampaknya bagi kesehatan,” tuturnya. 

Ia meminta agar pemerintah selaku regulator segera membuat aturan yang tegas untuk pelabelan produk free BPA. “Kami minta agar Badan POM dan Kementerian Kesehatan membuat aturan yang jelas, terkait informasi BPA ini dalam sebuah produk,” ujarnya. 

Dia mempertanyakan produk plastik yang beredar di pasar menyertakan free BPA, apakah dilakukan oleh pabrik atau sudah melalui uji klinis di Badan POM. Pemasangan label Free BPA harus dilakukan regulator.

Hal senada juga disampaikan oleh Wawan Some, Koordinator  Nol Sampah  Indonesia. Menurut dia, penggunaan bahan kima BPA bisa berdampak serius terhadap kesehatan. 

“Dalam kondisi panas, struktur kimia yang ada dalam plastik tersebut akan lepas dan bercampur dengan makanan atau minuman yang menjadi isi dari kemasan plastik, dan jika di konsumsi sangat berbahaya,” tuturnya. Bahan makanan yang berlemak juga semakin meningkatkan resiko terjadinya paparan BPA. 

Wawan juga mengkritisi regulator yang tidak jelas dalam mengatur jenis-jenis plastik yang digunakan oleh masyarakat. Misalnya terkait makna angka-angka yang ada di dalam produk plastik dalam bentuk botol yang sekali pakai.  

“Ada berbagai macam jenis plastik dari mulai angka 1 sampai 7, angka 1 misalnya seperi air kemasan, soft drink dan sebagainya, itu adalah produk sekali pakai,” jelasnya. 

Namun banyak masyarakat yang tidak paham, karena bentuk botolnya bagus dipakai lebih dari satu kali. “ Ketika dipakai lebih dari satu kali, maka zat kimia didalamnya ikut larut dalam air,” tuturnya. 

Karena itu ia meminta agar edukasi terkait bahan kimia berbahaya juga dibarengi dengan melakukan kontrol pada proses produksinya, sehingga bisa meminimalisir penggunaan bahan pastik berbahaya tersebut. 

Arist Merdeka Sirait meminta agar negara tidak boleh kalah dengan industri. Karena ancaman bahanya BPA bukan saja bagi anak-anak, namun juga bagi masa depan bangsa.  Di luar negeri BPA sudah dinyatakan sebagai bahan berbahaya yang dilarang penggunaanya.  

Menurut Arist, urgensi pelarangan BPA di Indonesia sudah sangat mendesak. “Hasil eksekusi kami terhadap berbagai penelitian di lapangan,  regulator diperlukan kehadirannya dalam mengontrol produk plastik berbahan kimia berbahaya,” ujarnya.  

Terkait misalnya penggunaan galon guna ulang, yang meluas di tengah masyarakat. Harusnya pemerintah membuat label peringatan kepada konsumen. Karena galon isi ualng terbuat dari polikarbonat yangmengandung  BPA. Sementara banyak ibu-ibu membuat susu untuk anak-anak dari air yang dari galon isi ulang. “Peringatan produk seperti halnya di produk rokok, di produk plastik juga harus ada seperti itu,” tegasnya. 

Berdasarkan studi yang dilakukan di beberapa negara menunjukkan bahwa paparan manusia terhadap BPA cukup luas. Data statistik Kanada yang dilakukan pada 2007 – 2009 ditemukan sekitar 91 persen orang berusia 6 sampai 79 tahun dalam urinnya terdeteksi mengandung BPA. 

Sedangkan di survei di Amerika Serikat pada 2003 – 2004 mendeteksi adanya BPA sebesar 93 persen dari 2.517 sampel urin orang Amerika yang berusia lebih dari 7 tahun. Populasi yang beresiko terhadap paparan BPA adalah bayi, karena tubuh mereka sedang berkembang dan sistem detoksifikasi di dalam hati juga belum sempurna.  

Pada 2010 Kanada menjadi negara pertama di dunia yang menyatakan BPA sebagai zat toksik yang dapat menyebabkan gangguan terhadap kesehatan dan lingkungan. 

Uni Eropa telah menotifikasikan pelarangan penggunaan BPA dalam pembuatan botol susu bayi dari plastik mulai Maret 2011. Pada bulan Juni 2011, import dan penjualan botol bayi yang mengandung BPA juga akan dilarang.

Editor : Vitrianda Hilba Siregar

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut