Dengan harga segitu, kalangan menengah ke bawah bisa membeli. Pedagang asongan, tukang becak, supir angkot, ibu rumah tangga, pelajar, hingga pekerja.
"Dengan produk pakaian bekas orang beli branded dengan harga murah, apakah produk lokal bisa bersaing? Orang terbantu loh pakai baju bekas ini dengan murah ada yang seribu kalau obralan, yang branded lagi paling murah Rp50.000, paling mahal Rp300ribu, apalagi? Jadi ini bukan solusi dong ceritanya," tutur Laura.
Sejalan, Pedagang thrifting bernama Deri juga mengatakan tidak setuju dengan rencana pemerintah tersebut. Menurutnya, mengganti pakaian thrifting dengan pakaian lokal bukanlah langkah yang tepat untuk menyelesaikan masalah.
Dia menilai, pakaian thrifting punya banyak keunggulan daripada pakaian lokal.
"Kurang greget saja kalau barang lokal itu karena kalau namanya impor itu kan sudah ketahuan barangnya, modelnya, dari segi bahannya, kualitasnya juga bagus semua walaupun barangnya, barang second. Tapi kalau mau diganti dengan barang baru kayaknya bukan suatu jalan yang tepat, bukan menyelesaikan masalah itu namanya," ungkap Deri.
Di sisi lain, Deri mengatakan, tindakan pemusnahan pakaian bekas oleh pemerintah membawa dampak buruk terhadap usahanya. Pembeli menurun drastis sehingga omzet yang didapat pun turut melandai. Dari sebelumnya Rp1 juta per hari jadi sekitar Rp500 ribu per hari.
Editor : Eka Dian Syahputra
Artikel Terkait