
Orang-orang di dalamnya harus dibangun dengan integritas dan semangat baru—bahwa melayani di Garuda adalah ibadah kebangsaan. Tujuan operasionalnya harus kembali ke ruh semula: bukan sekadar profit, tapi pelayan negara. Dan kebanggaan itu harus dikembalikan—agar setiap seragam dan lambang yang dikenakan menjadi kehormatan, bukan sekadar pekerjaan.
Langit hanya bisa menerima mereka yang jujur pada arah terbangnya. Tidak ada tempat bagi ego sektoral, permainan licik, dan kepentingan sempit. Garuda harus dipimpin oleh jiwa-jiwa negarawan yang tak silau pada laba sesaat, tetapi melihat jauh ke cakrawala bangsa. Kita tidak butuh penyelamat yang berinvestasi di reruntuhan; kita butuh pemimpin yang percaya bahwa dari puing-puing pun bisa tumbuh kembali kemuliaan.

Chairil Anwar pernah menulis, “Sekali berarti, sudah itu mati.”
Tapi Garuda tak boleh mati. Ia belum selesai berarti.
Selama masih ada ibu-ibu yang menggantungkan harapan anaknya pada langit,
selama masih ada merah putih yang berkibar di dada para pejuang langit—
maka Garuda harus terus terbang.
Garuda, it’s now or never.
Karena ini bukan soal maskapai.
Ini soal siapa kita sebagai sebuah bangsa.
Dan apa yang kita pilih untuk kita wariskan.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait