JAKARTA, iNewsBekasi.id- Sekolah Rakyat baru diluncurkan beberapa pekan lalu, namun sudah menghadapi masalah serius. Tercatat ratusan siswa dan guru memilih mundur, memicu sorotan dari pakar sosiologi pedesaan dan pengembangan masyarakat IPB University, Prof Lala M Kolopaking.
Data terbaru menunjukkan 115 siswa hengkang dari Sekolah Rakyat berasrama ini, mayoritas berasal dari Jawa dan Sulawesi. Selain itu, 143 guru juga menyatakan mundur. Menteri Sosial memastikan Kementerian Sosial telah menyiapkan pengganti untuk posisi siswa dan guru yang keluar.
Prof Lala menilai persoalan ini mengindikasikan perlunya pendekatan sosial budaya yang mendalam, dengan melibatkan masyarakat secara partisipatif sejak awal perencanaan.
“Program Sekolah Rakyat itu tujuannya sangat baik, ingin membantu masyarakat yang kurang mampu. Akan tetapi mestinya ada pemetaan sosial budaya terlebih dahulu, agar program ini menyentuh kebutuhan dan karakter masyarakat setempat,” ujarnya melalui siaran pers, Sabtu (9/8/2022).
Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia (Fema) IPB University ini menegaskan pentingnya menjadikan masyarakat sebagai subjek, bukan sekadar objek penerima program.
“Ini sinyal bahwa membuat program yang baik itu tidak cukup hanya dengan niat, tapi harus dialokasikan pada masyarakat sekitar dengan pendekatan dialog. Jadi ada dialog yang dibangun, sehingga mereka paham,” ungkapnya.
Menurut Prof Lala, absennya pendekatan partisipatif dapat menjadi penyebab utama siswa merasa tidak betah.
"Kalau katanya tidak betah, boleh jadi orang yang sekolah di situ memang jauh dari budaya lokal. Bisa jadi mereka mengalami homesick," jelasnya.
Prof Lala menilai model sekolah berasrama cocok bagi anak-anak dari keluarga rentan di desa. “Boarding itu satu pilihan metode pendidikan, yang bisa membentuk karakter lebih kuat,” ujarnya.
Namun, ia mengingatkan bahwa adaptasi menjadi tantangan besar.
“Orang keluar dari rumah itu perlu dampingan adaptasi. Tidak bisa langsung dipaksa masuk asrama tanpa persiapan sosial hingga aspek psikologis mereka yang akan belajar,” tegasnya.
Menurutnya, keberhasilan sekolah berasrama terletak pada dialog awal, pemetaan sosial, serta seleksi siswa yang mempertimbangkan kondisi sosial budaya.
"Selama prosesnya dilakukan dengan melibatkan masyarakat sejak awal, sekolahnya akan lebih mudah diterima. Jangan sampai semuanya diputuskan dari atas tanpa mempertimbangkan kompetensi dan kecerdasan kontekstual yang akan dicapai.”
Prof Lala juga mengkritisi pendekatan top-down yang cenderung instruktif. “Perlu dilengkapi model pendidikan yang membebaskan. Sekolah perlu disiapkan bersama pihak-pihak berkepentingan sejak awal,” paparnya.
Untuk keberlanjutan Sekolah Rakyat, Prof Lala menekankan dua poin penting: definisi jelas tentang “tidak mampu” dan kurikulum yang relevan dengan potensi ekonomi lokal.
"Harus jelas dulu, tidak mampu itu secara ekonomi, akses, atau akademik? Lalu yang paling penting, kurikulum harus disesuaikan dengan lingkungan siswa," katanya.
Ia memberi contoh: sekolah di wilayah perkebunan karet sebaiknya mengajarkan keterampilan seputar industrialisasi karet, sedangkan sekolah di pesisir dapat menekankan industrialisasi sektor maritim.
“Agar sejak awal sekolah itu tahu berkesadaran untuk menjadi penggerak ekonomi lokal dan hidupnya sendiri,” tegasnya.
Selain kurikulum, kesiapan guru juga harus diperhatikan. Guru perlu memahami konteks sosial budaya lokal agar dapat memberikan pendidikan yang tepat dan efektif.
Prof Lala menutup dengan menegaskan bahwa solusi pendidikan berkelanjutan memerlukan pendekatan human inquiry dan adaptasi terhadap ekosistem lokal sebagai kunci sukses program seperti Sekolah Rakyat.
Editor : Wahab Firmansyah
Artikel Terkait
