Memang, pihak kesehatan rutin mengadakan penyuluhan melalui posyandu dan kelas balita. Namun, pembahasan mengenai kental manis masih sangat minim.
“Secara khusus yang tentang kental manis belum ada edukasi,” kata Herlin.
Akibatnya, masyarakat tetap menggunakan produk tersebut tanpa merasa bersalah. Di satu sisi, ada kesenjangan besar antara pesan kesehatan modern dengan pemahaman masyarakat desa yang sehari-hari bergulat dengan keterbatasan akses informasi.
Tidak bisa dipungkiri, faktor ekonomi juga berperan. Kental manis bisa dibeli dengan harga murah dan mudah ditemukan di warung terdekat. Bagi keluarga dengan penghasilan terbatas, pilihan ini terasa lebih realistis.
Namun, tanpa edukasi yang benar, pilihan yang dianggap hemat justru membawa risiko kesehatan yang lebih mahal di masa depan.
Kasus di Desa Bayan membuka mata bahwa masalah gizi tidak melulu tentang ketersediaan makanan, tapi juga soal informasi yang diterima masyarakat. Edukasi yang merata adalah kunci.
Jika orang tua memahami bahwa kental manis bukan susu, mereka akan lebih berhati-hati dalam memberi konsumsi kepada anak. Jika edukasi dilakukan secara konsisten, generasi muda Desa Bayan dan desa-desa lain bisa tumbuh lebih sehat, kuat, dan cerdas.
Pada akhirnya, ini bukan hanya tentang satu produk, melainkan tentang masa depan bangsa. Anak-anak Indonesia berhak mendapatkan asupan bergizi, bukan sekadar rasa manis yang menipu.
Editor : Wahab Firmansyah
Artikel Terkait
