Ancaman Denda Jutaan Dolar
Kepatuhan perusahaan teknologi tak lepas dari ancaman sanksi besar dari pemerintah. Setiap platform yang kedapatan melanggar aturan akan dikenai denda hingga 49,5 juta dolar Australia, atau setara Rp544 miliar.
Sebelumnya, perusahaan teknologi sempat menolak aturan ini karena khawatir kehilangan pengguna remaja dan pendapatan iklan. Mereka juga menilai sistem pemeriksaan usia wajib terlalu invasif, tidak akurat, serta berpotensi mengganggu pengalaman pengguna.
Namun, setelah mendapat tekanan dari parlemen dan opini publik, sebagian besar perusahaan akhirnya bersedia menyesuaikan diri.
Dalam praktiknya, perusahaan media sosial akan menggunakan perangkat lunak berbasis kecerdasan buatan (AI) untuk memperkirakan usia pengguna. Teknologi ini bekerja dengan menganalisis pola interaksi pengguna—seperti frekuensi memberi “like” atau gaya berkomentar—tanpa mengandalkan tanggal lahir yang mudah dimanipulasi.
Meski dianggap lebih efektif, sistem ini memunculkan kekhawatiran soal akurasi dan privasi data. Pengamat teknologi memperingatkan bahwa algoritma semacam itu berpotensi menyebabkan kesalahan identifikasi dan pengumpulan data berlebihan.
Hingga kini, Meta, Snapchat, TikTok, dan Google (pemilik YouTube) belum memberikan komentar resmi mengenai kebijakan baru tersebut. Dalam sidang parlemen Australia pada Oktober lalu, seluruh perusahaan—kecuali Google—menyatakan akan mematuhi aturan dan mulai menghubungi pengguna remaja untuk menginformasikan perubahan kebijakan.
Pemerintah Australia menegaskan bahwa larangan ini akan menjadi “uji coba sosial” yang bisa menjadi model bagi negara lain. Jika kebijakan ini berhasil menekan dampak negatif media sosial terhadap anak muda, Australia berpotensi menjadi pelopor global dalam perlindungan digital bagi generasi muda.
Editor : Wahab Firmansyah
Artikel Terkait
