Akhirnya, Residen (Kepala Wilayah di bawah Gubenur Jenderal) Sudirman, datang ke lokasi tersebut. Kedatangan Residen Sudirman juga tidak ditanggapi dengan baik oleh pihak Belanda. Hingga akhirnya massa di luar hotel memaksa masuk menurunkan bendera Belanda. “Setelah diturunkan, bendera Belanda itu disobek warna birunya hingga tinggal merah dan putih dan kemudian dikibarkan lagi,” ungkap pria yang juga menjadi dosen Ilmu Komunkasi ini.
Rupanya, buntut penyobekkan itu membuat marah Belanda. Terlebih lagi, Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia itu. Dalam agresi kali ini, tentara NICA mengikutsertakan sekutu. Hingga akhirnya, perlawanan demi perlawanan muncul di Surabaya.
Pada 30 Oktober 1945 perlawanan kian besar. Bahkan, sebagai bentuk perlawanan itu, KH Hasyim Ashary ulama Nahdlatul Ulama (NU) mengeluarkan resolusi jihad. Akibat pertempuran ini, Jenderal AWS Mallaby, pimpinan tentara Inggris tewas saat baku tembak di Jembatan Merah, Surabaya.
Aubertin Walter Sothern (AWS) Mallaby (Foto: Istimewa)
"Kematian Mallaby ini ternyata memicu pertempuran yang lebih besar lagi. Karena Belanda mengeluarkan ultimatum kepada bangsa Indonesia agar menyerah dengan cara membawa bendera putih dan datang dengan jalan merangkak kepada Belanda. Ultimatum itu tidak digubris oleh bangsa Indonesia," katanya.
Pertempuran lebih besar pun pecah. Saat itu, Surabaya dikepung dari berbagai penjuru, mulai darat, laut, hingga udara. Menurut Sam, pertempuan ini paling besar dalam sejarah. “Lebih besar dari pertempuran Normandia dalam operasi Cobra antara Pasukan Hitler melawan pasukan sekutu pada 1944. Sebanyak 160 ribu pejuang gugur,” jelas Sam.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta