"Perbuatannya di luar, dan itu di luar kolerasi dan institusi di MUI. Kita tidak tahu seribu pengurus MUI itu kita tahu. Tidak tahu juga karena tidak pantau itu. Paham radikal tidak ada tempat di MUI. Kalau ada hama itu musibah dalam suatu tenda besar yang harus disingkirkan," terangnya.
Sementara itu mantan napi kasus terorisme, Haris Amir Falah, mengaku terkejut mendengar penangkapan ustadz Farid Okbah.
“Saya kenal beliau sebagai aktivis dakwah biasa, sangat tegas pada masalah Syiah misalnya,” kata Haris.
Meski demikian, Haris yakin Densus tidak akan gegabah menangkap Okbah tanpa alasan kuat. Berdasarkan pengalamannya, polisi selalu bisa menghadirkan bukti-bukti ke persidangan, sehingga tidak ada terdakwa kasus terorisme yang lolos.
“Belakangan ini kan selalu gaduh kalau ada penangkapan. Muncul kata Islamophobia, kriminalisasi ulama dan sebagainya. Padahal saat 2010 pun ada tokoh luar biasa yang ditangkap bareng saya. Dan di pengadilan bisa dibuktikan, bahwa betul ada kaitannya,” kata Haris.
Mengenai keberadaan Farid Okbah dan jaringannya yang belum pernah ditampilkan sejak penangkapan, Haris menyebutnya sebagai bagian dari prosedur Densus 88 Anti-teror. Hal ini pun pernah ia alami saat ditangkap dulu.
“Memang aturannya begitu, sekarang kan masih dalam masa penyidikan. Dulu saya selama seminggu tidak bisa ditemui siapapun. Tokoh seperti Abu Bakar Ba’asyir juga. Nanti ada masanya, dalam kondisi yang insya Allah aman,” pungkas dia.
Pengamat intelijen dan terorisme, Stanislaus Riyanta juga tidak sepakat bila tertangkapnya dua anggota MUI dalam kasus terorisme, langsung disimpulkan sebagai bukti infiltrasi paham teroris.
“Penyusupan harus dibuktikan. Kalau dia masuk normal-normal saja tidak mempengaruhi kebijakan dan tidak merekrut rekan-rekannya, berarti dia disitu untuk bertahan hidup,” jelas Riyanta.
“Kecuali terbukti dia mempengaruhi rekan-rekannya, menggalang dana, merekrut anggota dan sebagainya itu baru bisa disebut menyusup,” sambungnya.
Editor : Vitrianda Hilba Siregar