JAKARTA, iNews.id - Seorang prajurit Komando Pasukan Khusus (Kopassus) diledek dan ditertawakan ketika mengatakan keinginannya menjadi jenderal. Akan tetapi, putaran waktu membalikkan semua cemoohan itu. Sang prajurit bukan saja menjadi perwira tinggi, tapi juga Danjen Kopassus!
Prajurit Korps Baret Merah itu tak lain Jenderal TNI (Purn) Subagyo Hadi Siswoyo alias Subagyo HS. Serdadu berkumis lebat itu bahkan menembus pangkat bintang empat ketika dipercaya sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) pada 1998-1999.
Kisah ledekan itu terjadi kala Subagyo masih perwira menengah Kopassus berpangkat letnan kolonel. Suatu hari dia berkumpul dengan teman-teman lamanya seraya makan bakmi goreng di Kauman, Yogyakarta.
Sambil ngobrol ngalor ngidul, Bagyo mengungkapkan keinginannya untuk menjadi jenderal suatu saat nanti. Sebuah impian yang wajar sebenarnya. Bagi semua prajurit terutama dari lulusan akademi militer, menjadi jenderal adalah impian. Tapi apa yang terjadi?
“Mendengar itu (cita-cita Subagyo), rekan-rekannya spontan menanggapi dengan nada sinis dibarengi gelak tawa,” ujar Carmelia Sukmawati dalam buku ’Subagyo HS KASAD dari Piyungan’, dikutip Selasa (7/12/2021).
Bukan tanpa sebab bila teman-temannya menertawakan. Mereka tahu persis latar belakang Bagyo, siapa orangtuanya, kerabat dan dari mana berasal. Cita-cita Bagyo untuk menembus pangkat jenderal dianggap terlalu muluk bagi seorang anak desa.
Salah seorang rekan Bagyo yakni Rosil (kelak menjadi pengusaha di Yogyakarta). Aktivis Muhammadiyah ini sahabat karib Bagyo sekaligus tempat bertanya tentang hal-hal rohaniah. Rosil mengakui saat itu tidak ada yang percaya dengan omongan Bagyo.
“Waktu itu Subagyo sudah sangat yakin dirinya akan bisa menjadi jenderal. Tapi teman-temannya tidak ada yang percaya. Bagaimana mungkin dia bisa mewujudkan impiannya itu, kami tahu latar belakangnya,” kata dia.
Subagyo lahir pada 12 Juni 1946 di Desa Piyungan, Kabupaten Bantul atau sekitar 15 kilometer arah timur Yogyakarta. Dia anak ketiga dari lima bersaudara dari pasangan Yakub Hadiswoyo dan Sukiyah. Saat lahir, namanya hanya Subagyo (tanpa embel-embel Hadisiswoyo). Su berarti lebih, bagyo diartikan bahagia.
Untuk ukuran masyarakat desa pada masanya, kondisi ekonomi keluarga Hadisiswoyo tergolong biasa-biasa saja. Rumah Hadisiswoyo berdinding gedek (anyaman bamboo) dengan lantai tanah. Untuk membantu ekonomi keluarga, Sukiyah berjualan di pasar. Adapun Yakub dikenal sebagai juru penerang yang bekerja pada Djawatan Penerangan.
Ledekan Jadi Pemacu Semangat
Saat kawan-kawannya tertawa mendengar keinginan menjadi jenderal, Subagyo merasa tersinggung. Maklum, semula dia berharap mereka akan mendukung dan memberikan doa. Tak tahunya semua meledek dan menganggap cita-cita itu mustahil.
Di titik inilah Subagyo justru terlecut. Semua guyonan dan nada-nada sinis dari para teman lamanya itu menjadi cambuk baginya untuk membuktikan bahwa impian itu bukan omong kosong. Bagyo pun bertekad untuk mewujudkan keinginan itu.
“Sok, aku dadi bintang papat (besok, aku jadi bintang empat),” ucap Bagyo dalam hati.
Perjalanan waktu membuktikan semuanya. Tiga windu mengabdi di militer, memasuki bulan kelima (Mei) 1994 Kolonel Inf Subagyo mendapatkan promosi kenaikan pangkat. Lulusan Akabri 1970 itu tembus bintang satu alias brigadir jenderal (brigjen).
Bagyo sekaligus tercatat sebagai lulusan pertama lichting 70 yang pecah bintang. Kariernya semakin mencorong. Pada akhir Agustus 1994, ABRI kembali melakukan mutasi besar-besaran. Dalam mutasi kali ini, Bagyo yang menjabat sebagai Kepala Dinas Pengamanan dan Sandi Angkatan Darat (Kadispamad) tanpa diduga ditunjuk sebagai Komandan Jenderal Kopassus.
Terpilihnya Bagyo sebagai orang nomor satu di Korps Baret Merah mengejutkan banyak pihak. Maklum, namanya saat itu jauh dari bursa calon danjen. Lucunya, Bagyo juga tak menyangka bakal menjadi pemegang tongkat komando pasukan elite itu.
“Sewaktu masih kolonel dan menjadi Komandan Grup A Paswalpres (kini Paspampres), Subagyo mendukung Asisten Operasi Kopassus saat itu, Luhut Binsar Pandjaitan, untuk menjadi Danjen Kopassus,” kata Carmelita.
Luhut merupakan rekan satu angkatan Bagyo di Akabri 70 sekaligus peraih Adhi Makayasa. Dalam bayangan Bagyo, kalau Luhut jadi Danjen Kopassus, dirinya berharap dapat menjadi salah satu Panglima Divisi Kostrad.
Tetapi yang terjadi tidak demikian. Bagyo menggantikan seniornya, Brigjen TNI Agum Gumelar. Bagi Subagyo, menduduki jabatan tertinggi di Kopassus tentu kebanggaan. Dia lahir dan besar di pasukan elite tersebut, meskipun pada tujuh tahun terakhir sebelum jadi danjen, dia berkarier di struktur lain mulai Paswalpres, Bais ABRI dan Dispamad.
Tembus Bintang Empat
Karier Bagyo makin mengilap. Hanya setahun menjadi Danjen Kopassus (1994-1995), dia dipromosikan sebagai Pangdam IV/Diponegoro (1995-1997). Pada pertengahan Juni 1997, kabar lain datang, tentara dari Piyungan ini ditunjuk sebagai wakil KSAD.
Promosi pada 1997 itu mengembuskan kabar lain. Banyak yang menyebut mereka yang dipromosikan kebanyakan jenderal yang dekat dengan Soeharto. Ini berlaku pula bagi Subagyo yang pernah bertahun-tahun menjadi pengawal Pak Harto. Dengan kata lain, mereka yang dekat dengan Cendana pasti dianggap bakal bersinar terang.
Anggapan itu banyak benarnya. Kendati demikian, tidak semuanya bernasib sama. “Jangan keliru, tidak semua yang dikenal Pak Harto menjadi orang penting. Karena lewat perkenalan itu Pak Harto berkesimpulan, orang-orang itu tidak bisa diberi beban lebih besar dari yang diberikan ketika mereka berada di sekitar Pak Harto,” kata Salim Said dalam buku ‘Wawancara tentang Tentara dan Politik’.
Terlepas dari itu, Subagyo mencapai puncak karier di kemiliteran pada 16 Februari 1998. Bertempat di Istana Negara, Jakarta, dia dilantik Presiden Soeharto sebagai KSAD. Dia menggantikan seniornya, Jenderal TNI Wiranto, yang ditunjuk sebagai Panglima TNI.
Impian tentara berjuluk Bima itu akhirnya terbukti. Dia benar-benar meraih empat bintang emas di pundaknya alias jenderal. Subagyo HS, prajurit komando itu menjadi orang nomor satu di AD hingga 20 November 1999.
Mantan Danjen Kopassus Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto mengingat Subagyo sebagai sosok panutan. Banyak hal dipelajarinya antara lain sifatnya yang ramah, jiwa loyal, dan setia serta selalu membela anak buah.
“Saya kira tidak keliru kalau orang-orang memberi julukan beliau sebagai Bima. Mungkin tampanya garang dengan kumis lebat, tapi beliau selalu senyum bahkan ramah dan selalu penuh humor,” kata Prabowo dalam biografinya. “Kepemimpinan Militer: Catatan dari Pengalaman Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto’.
Editor : Aditya Nur Kahfi