Karena tempatnya yang agak jauh di tengah sawah, pengembara itu berteriak dari pematang sawah "Pak, ini desa mana?" Petani yang ada di sawah itu pun berteriak menjawab "Matamu!"
Pengembara itu pun kaget, karena tidak yakin dengan pendengarannya. Dia lantas bertanya lagi, namun petani itu tetap tegas menjawab bahwa ink Desa Matamu. Anehnya, para pengembara itu malah tersinggung dengan pernyataan petani tersebut.
"Dalam keadaan yang kelelahan dan tersesat seperti itu, dia mendengar umpatan yang membuat emosinya langsung naik. Pengembara langsung marah. Dia langsung lari mendekat kepada petani itu. Petani itu pun mencoba mendekat karena dia menduga sang pengembara tidak mendengar dengan jelas jawabannya," ujarnya.
Tanpa diduga oleh si petani, pengembara itu memukulnya bertubi-tubi. Sambil berlari menyelamatkan diri, petani melewati lurung desa sambil berteriak "Tulung, tulung, tulung!" ke warga desa.
Atas kejadian itu, warga Desa Matamu merasa khawatir kalau kejadian itu terulang lagi. Akhirnya dengan pertimbangan sesepuh desa, nama berubah menjadi Desa Tulung.
Kemudian nama desa unik lain, yakni Desa Lampah, Kecamatan Kedamean. Masih dalam literasi buku tersebut, diceritakan ada sepasang pengembara melakukan perjalanan ke arah utara dengan berjalan kaki.
Dalam Bahasa Jawa Kromo, berjalan kaki itu disebut mlampah. Karena berniat hendak menegur, maka seorang warga menegur dengan kalimat "Kok mlampah mawon?" Artinya kok berjalan saja.
"Karena seringnya orang menyapa dengan kata-kata itu maka desa itu disebut dengan Desa Lampah," tuturnya.
Editor : Iman Ridhwan Syah