Ia berpendapat, proporsional tertutup alat ukurnya kadang jelas, tapi penerapannya masih kurang tegas cenderung bernuansa eweuh pakewueh Timur.
"Sementara, proporsional terbuka, membuat kontestasi internal maupun external partai lebih dinamis, maka biaya akan tinggi. Masyarakat akan disajikan ribuan pilihan yang mungkin saja banyak yang over-rated atau dilebih-lebihkan di tengah gencarnya sosial media dan rendahnya edukasi informasi termasuk pengawasan berita hoax." ujarnya.
Menurut Brando, proporsional terbuka memiliki kelebihan yakni keterlibatan masyarakat pemilih lebih tinggi. Hal ini bisa dicek secara detail sampai ke jejak rekam pribadi para calegnya, tidak hanya parpolnya.
Brando berharap agar kontestasi pemilu yang dibangun dengan sistem proporsional terbuka maupun tertutup, perlu adanya gerakan sadar politik, sehingga masyarakat dan seluruh elemen memaknai sungguh-sungguh bahwa demokrasi menghendaki perubahan untuk kebaikan bersama bagi peradaban manusia.
"Akhirnya, perlu bikin sadar politik, Demokrasi adalah alat bukan tujuan. Tujuan sistem Pemilu apapun, hendaknya membawa kebaikan bagi peradaban manusia." tutup alumni FISIP Unpar tersebut.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta