JAKARTA, iNewsBekasi.id - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengungkapkan terdapat 1.600 kontainer dengan nilai demurrage Rp294,5 miliar berisi beras yang tertahan di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta dan Tanjung Perak, Surabaya.
Kemenperin menyebut 1.600 kontainer beras dengan demurrage Rp294,5 miliar itu merupakan bagian dari 26.415 kontainer yang tertahan di dua pelabuhan tersebut.
Fakta itu diungkapkan Juru Bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arif, yang akhinya buka suara mengenai 26.415 kontainer impor yang tertahan di pelabuhan. Dari data yang diperoleh melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), ribuan kontainer yang tertahan termasuk di dalamnya adalah berisi beras dan belum diketahui aspek legalitasnya.
"Beras (ilegal) jumlah kontainernya 1.600. Tidak ada, belum ada penjelasan dari Bea Cukai soal (soal legalitas 1.600 kontainer) berisi beras itu,” kata Febri dikutip, Jumat,(9/8/2024).
Febri melanjutkan, data kejelasan atas isi 1.600 kontainer dengan nilai demurrage Rp 294,5 miliar berisi beras tersebut diperlukan dan harus disampaikan gamblang. Hal ini, kata Febri, diperlukan untuk menentukan kebijakan tepat dalam memitigasi kondisi yang sama ke depannya.
"Kebijakan yang tepat itu harus berdasarkan data yang akurat, cepat,” pungkas dia.
Sementara itu, Ekonom Konstitusi Defiyan Cori mengamini soal kemungkinan dugaan beras ilegal di dalam 1.600 kontainer yang tertahan di pelabuhan. Pasalnya, kata dia, jika beras tersebut bukan barang ilegal maka tidak akan tertahan apalagi sampai terkena demurrage Rp294,5 miliar.
“Jika memang demurrage terkait komoditas beras impor yang dilakukan atas jaminan pemerintah, maka seharusnya denda tidak diberlakukan apalagi alasan bersandar lebih lama di pelabuhan disebabkan oleh hal-hal teknis kepelabuhan,” tegas dia.
Apabila komoditas beras impor itu merupakan permintaan pemerintah dalam hal ini , maka pemerintah harus menanggung beban denda tersebut supaya tidak menjadi tambahan biaya pembentuk harga pokok penjualan sebagai pembentuk harga beras di dalam negeri yang dibeli masyarakat.
Editor : Vitrianda Hilba Siregar