JAKARTA,iNews.id - Perkumpulan Penggarap Tanah Terlantar (P2T2) mempertanyakan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Wilayah Desa Nambo, Bantarjati, Leuwikaret, Ligarmukti, Klapanunggal, Lulut, Kembangkuning, Kecamatan Klapanunggal Bogor, Jawa Barat.
Ini mengingat terbitnya Undang-Undang (UU) nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang melahirkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 20 tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar. Direktur Eksekutif P2T2, Arman Suleman, SPd., MBA mengatakan atas dasar itu maka maka pembangunan harus berguna meningkatkan kesejahteraan bagi rakyat, bangsa, dan negara Indonesia.
"Karena itu, tanah harus diusahakan, dimanfaatkan, dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat," kata Arman dalam keterangannya yang diterima Minggu (6/3/2022).
Arman menuturkan, dipertanyakannya seluruh IUP di Wilayah Desa Nambo, Klapanunggal, Bogor, Jawa Barat setelah pihaknya mendapatkan respon yang baik dari para Kepala Desa se Kecamatan Klapanunggal dari 24 - 27 Desember 2021 lalu terkait efek tidak adil yang dirasa warga dan pemerintahan Desa karena area IUP.
Pihaknya sebagai penatakelola para penggarap tanah negara dikatakan Amran sudah mencoba mencarikan beberapa solusi untuk mengatasinya. Salah satunya mengajukan surat inisiasi kepada Bupati Bogor guna pembukaan jalan penghubung atau alternatif dari Jalan Gunung Putri ke Jalan Raya Jonggol melintasi Desa Bantarjati, Desa Nambo, Desa Leuwikaret dan Desa Ligarmukti dengan pola swadaya masyarakat.
"Jadi untuk menegakkan asas kemanfaatan tanah negara yang teralokasi sebagai area IUP di 7 wilayah Desa itu, maka tahap awal kami berupaya bertanya terkait pasal 13 ayat 4 Peraturan Menteri ESDM RI Nomor 7 tahun 2020 tentang tata cara pemberian wilayah, perizinan, dan pelaporan pada kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara. Aturan itu memuat tentang peta wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) atau wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) sebagaimana dimaksud pada ayat (2)," jelasnya.
Arman menegaskan, dengan adanya keterbukaan informasi publik yang dijamin oleh UU Nomor 14 tahun 2008 maka pihaknya bertanya beberapa hal kepada Pemerintah dimulai dari pemerintahan Desa lalu kepada Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Menteri Agraria Tata Ruang/BPN sampai kepada Panitia Kerja Pengukuran Ulang HPL, HGU, HGB, Hak Pakai dan Tanah Terlantar Komisi II DPR.
Pertama, apakah secara administratif pemerintahan Desa bisa terlihat dengan baik apakah tanah negara yang menjadi area IUP seperti yang dimiliki PT Solusi Bangun Indonesia (SBI) anak perusahaan Semen Indonesia sejak dari PT Semen Djonggol tahun 1971 bersama badan hukum lainnya ada atau tidak tercatat atau terdokumentasi dengan baik/tertib pada administrasi Desa.
Kedua, berapa luasan IUP PT SBI atau badan hukum lain. Ketiga, berapa luas/bidang area IUP yang sudah tersertifikasi dengan memiliki nomor Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) PBB yang umum sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Keempat, seberapa luas area yang sudah dikelola PT SBI atau badan hukum lain menjadi area eks (bekas) IUP. Kelima, apakah pada setiap PT SBI atau badan hukum lainnya melakukan perpanjangan IUP ada area yang dilepaskan menjadi tanah negara bebas untuk kemudian bisa dimohonkan pensertifikatannya oleh masyarakat layaknya seperti lazim berlaku pada pemegang Sertifikat Hak Guna Usaha (SHGU).
"Kami berharap keadilan terkait pemerolehan tanah negara bagi rakyat bukan semata dimonopoli perusahaan. Agar perkembangan tempat dan sumber hidup rakyat bisa eksis mengikuti perkembangan peradaban. Itu idealnya harus terakomodasi dengan baik. Maka P2R2 berupaya mematuhi mekanisme aturan untuk menyikapi rasa tidak adil itu. Tanah negara tersebut tidak mutlak seumur hidup menjadi area IUP," tandasnya.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta