Ayat Kursi (3): Allah Tidak Mengantuk, Allah Tidak Tidur

BEKASI, iNewsBekasi.id- Di dunia ini, siapa yang bisa melawan tidur dan rasa kantuk? Adakah orang yang mengeluh karena dia tidak pernah tidur selama satu bulan, dua bulan hingga bertahun-tahun? Misalnya, “Aduh, sudah satu tahun saya nggak pernah tidur.”
Namun, tidak tidur dalam sehari saja, tubuh sudah oleng. Dalam lanjutan Tadabbur Ayat Kursi yang ketiga, menyangkut sifat Allah yang agung yaitu tidak mengantuk tidak pula tidur.
Pada bagian pertama dan kedua dalam Ayat Kursi dijelaskan, “Tidak da Tuhan selain Allah” serta “Allah Maha Hidup dan terus-menerus mengurusi makhluk-Nya”.
Tiba lah kita pada pembahasan yang menyebutkan bahwa Allah tidak mengantuk dan tidak pula tidur (Laa ta’khudzuhu sinatun walaa naum). Hanya Allah yang tidak mengantuk, tidak tidur, tidak lalai, tidak pula terlena. Yang lalai dan terlena adalah manusia.
(اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ۚ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ)
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur.” (QS Al-Baqarah: 255)
Penafian sifat mengantuk dan tidur dari Allah merupakan penetapan bagi-Nya atas kesempurnaan hidup dan kelangsungan pengaturan-Nya yang tidak permah terhenti. Allah SWT menetapkan kesemprnaan ilmu bagi-Nya karena sesungguhnya sifat mengantuk dan tidur menyerupai kematian, maka kehidupan orang yang tidur hakikatnya adalah kehidupan yang lemah.
Allah tidak mengantuk dan pula tidur adalah kesempurnaan sifat Allah yang terus menerus mengurus makhluk-Nya. Mengantuk adalah permulaan tidur, dan tidur adalah istirahat total. Di sini digambarkan bahwa Allah tidak mengantuk tidak pula tidur.
Penjelasan bahwa Allah tidak tidur bukan karena Dia sudah tidur. Artinya Allah selama-lamanya tidak mengantuk dan tidur. Tidur dan mengantuk, lalai dan terlena, lelah dan lemah, adalah sifat manusia.
Tidur dan mengantuk adalah nikmat tetapi tak jarang juga menjadi sumber kelalaian yang mencelakakan. Misalnya, gara-gara mengantuk dan ketiduran, kita bisa kecolongan. Gara-gara diserang rasa kantuk, terjadi banyak kecelakaan di jalan raya. Gara-gara terlena sedikit, terjadi kejahatan. Gara-gara telat sedikit, ketinggalan pesawat.
Tapi yakinlah, tidak ada nasi yang menjadi bubur kecuali karena kehendak Allah. Karenanya, daripada meratapi nasib, sebaiknya kita menyandarkan semuanya kepada Allah. Siapa pun kita yang menghadapi keterlanjuran, ucapkan qodarullah, wamaa syaa fa’al (takdir Allah, dan apa yang dikehendaki-Nya pasti dikerjakan).
Misalnya, seorang dokter yang keliru memberikan resep, lalu pasiennya komplain dan membawanya ke masalah hukum. Ini adalah kesalahan sebagai manusia biasa dan siapa pun bisa berbuat salah.
Bisa saja ada keteledoran yang disengaja atau pun tidak, sehingga kita salah dan keliru. Sebagai orang yang beriman, akui kesalahan jika kita salah, baca istighfar, meminta maaf, dan bertaubat kepada Allah SWT.
Jadi kalau terlanjur salah atau keliru, jangan putus asa. Kekeliruan yang paling besar adalah berputus asa. Kita pasrah kepada Allah dan berniat yang positif. Prasangka Allah ada pada prasangka hamba-Nya, kalau prasangka kita baik maka pasti Allah memberikan jalan terbaik. Setelah kejadian, yakinilah adanya takdir Allah. Apa yang dikehendaki-Nya pasti terjadi.
Dalam Shahih Muslim No 263:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَأَبُو كُرَيْبٍ قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ عَنْ أَبِي عُبَيْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ
قَامَ فِينَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِخَمْسِ كَلِمَاتٍ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَنَامُ وَلَا يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَنَامَ يَخْفِضُ الْقِسْطَ وَيَرْفَعُهُ يُرْفَعُ إِلَيْهِ عَمَلُ اللَّيْلِ قَبْلَ عَمَلِ النَّهَارِ وَعَمَلُ النَّهَارِ قَبْلَ عَمَلِ اللَّيْلِ حِجَابُهُ النُّورُ وَفِي رِوَايَةِ أَبِي بَكْرٍ النَّارُ لَوْ كَشَفَهُ لَأَحْرَقَتْ سُبُحَاتُ وَجْهِهِ مَا انْتَهَى إِلَيْهِ بَصَرُهُ مِنْ خَلْقِهِ
وَفِي رِوَايَةِ أَبِي بَكْرٍ عَنْ الْأَعْمَشِ وَلَمْ يَقُلْ حَدَّثَنَا حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا جَرِيرٌ عَنْ الْأَعْمَشِ بِهَذَا الْإِسْنَادِ قَالَ قَامَ فِينَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ ثُمَّ ذَكَرَ بِمِثْلِ حَدِيثِ أَبِي مُعَاوِيَةَ وَلَمْ يَذْكُرْ مِنْ خَلْقِهِ وَقَالَ حِجَابُهُ النُّورُ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah dan Abu Kuraib keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Muawiyah, telah menceritakan kepada kami al-A’masy, dari Amru bin Murrah, dari Abu Ubaidah, dari Abu Musa, dia berkata, Rasulullah SAW berdiri menerangkan kepada kami lima perkara dengan bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak pernah tidur dan tidak seharusnya Dia tidur. Dia berkuasa menurunkan timbangan amal dan mengangkatnya. Kemudian akan diangkat kepada-Nya (maksudnya dilaporkan) segala amalan pada waktu malam sebelum (dimulai) amalan pada waktu siang, dan begitu juga amalan pada waktu siang akan diangkat kepada-Nya sebelum (dimulai) amalan pada waktu malam. Hijab-Nya adalah Cahaya. (Menurut riwayat Abu Bakar: api) Andaikata Dia menyingkapkannya, pasti keagungan Wajah-Nya akan membakar makhluk yang dipandang oleh-Nya.”
Ada lima kaidah penting dari hadits ini. Pertama, kita yakin bahwa Allah tidak lalai dan tidak pernah tidur. Kita bisa berdoa sepanjang waktu, kapan saja kita mau. Orang yang sedih di waktu malam lalu berdoa, orang yang meminta menjelang subuh, ada yang berdoa setelah subuh, ada yang berdoa saat akan berangkat kerja, ada yang kesilitan di siang hari lalu berdoa, ada yang berharap agar urusan selesai hari itu juga, semuanya dilayani langsung oleh Allah.
Kedua, Allah berkuasa menurunkan dan berkuasa mengangkat timbangan amal. Kalau tim auditor, tidak bisa mengurangi atau menambah penilaian dalam sebuah pemeriksaan. Kapan dia menilai atau mengurangi penilaiannya, pada saat itu juga dia berlaku curang.
Ketiga, amalannya akan diangkat kepada-Nya. Maksudnya akan dilaporkan segala amalan pada waktu malam, sebelum dimulai amalan pada waktu siang. Perbanyaklah beramal saleh. Catatan kebaikan itu tidak akan ditunda-tunda.
Keempat, hijabnya adalah cahaya. Pembatas Allah SWT adalah cahaya. Semakin dekat kepada Allah semakin dekat dan semakin cepat kita mendapatkan cahaya-Nya.
Kelima, andaikata cahaya itu disingkap, pasti keagungan wajah-Nya akan membakar semua makhluknya. Allahu Akbar.
Editor : Wahab Firmansyah