Cegah Kerugian Besar, Retur Wajib Dikelola secara Sistematis
BEKASI, iNewsBekasi.id - Dalam lanskap e-commerce Indonesia dan Asia Tenggara yang berkembang pesat, retur atau paket yang kembali ke pengirim (Return to Sender/Return to Seller) menjadi salah satu tantangan utama. Pasalnya, jika tidak dikelola secara sistematis, dampaknya bisa menimbulkan kerugian besar, terutama bagi seller dengan margin kecil atau produk yang cepat rusak.
Berdasarkan laporan McKinsey, tingkat retur di e-commerce kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia, dapat mencapai 15-20% – lebih dari dua kali lipat rata-rata retur di semua kategori ritel. Inilah realitas yang dihadapi para pelaku bisnis online saat ini yaitu hampir satu dari lima paket berpotensi kembali ke penjual.
Tingginya angka return to sender tentu saja berdampak langsung pada biaya operasional dan experience customer. Paket yang dikembalikan berarti penjual menanggung kerugian logistik dan modal tertahan, sementara customer bisa kecewa karena pesanan mereka tak kunjung diterima.
Berbagai faktor dapat menyebabkan paket gagal terkirim, mulai dari kesalahan input alamat, pembeli yang tidak di tempat atau berubah pikiran, hingga kendala operasional ekspedisi.
Untuk UMKM dan brand lokal yang margin keuntungannya terbatas, setiap paket yang kembali adalah pukulan – bukan hanya hilangnya pendapatan, tapi juga potensi kehilangan customer setia.
Kondisi ini menegaskan perlunya solusi lebih cerdas agar return to sender yang tinggi tidak lagi menjadi “biaya tak terlihat” yang membebani
pertumbuhan bisnis.
Masalah return to sender sebenarnya berdampak lebih luas daripada sekadar ongkos kirim balik. RTS kerap memicu kerugian inventori. Pasalnya, produk yang kembali belum tentu dalam kondisi layak jual, khususnya untuk barang dengan masa kedaluwarsa pendek seperti kosmetik atau produk kesehatan.
Selain itu, perputaran stok bisa terganggu, di mana barang yang seharusnya terjual justru tertahan dalam proses retur, yang pada akhirnya memperlambat arus kas dan membuat stok menjadi tidak efisien.
Di sisi lain, seller juga menanggung biaya tambahan, mulai dari ongkir retur, penanganan barang, inspeksi ulang, repackaging, hingga kemungkinan harus memberi kompensasi kepada pelanggan. Yang paling krusial adalah risiko reputasi brand: bila produk yang dikirim ulang ternyata rusak atau sudah kedaluwarsa, kepercayaan customer bisa turun drastis.
Karena itu, RTS perlu dipahami sebagai potensi lost opportunity — hilangnya peluang penjualan dan terhambatnya perputaran modal. KiriminAja pun mengembangkan Return Management System (RMS) sebagai inovasi dalam mengelola dan menekan tingginya RTS. CEO KiriminAja Fariz GTJ mengatakan, pihaknya membangun RMS bukan sekadar karena alasan teknologi, tapi karena memahami betul betapa repotnya seller saat harus menghadapi retur tanpa sistem pendukung.
"Melalui RMS, kami memberikan kendali lebih besar kepada seller untuk memantau status pengiriman dan mendeteksi potensi retur sejak dini," ujar Fariz.
Sistem ini, kata dia, secara proaktif mengidentifikasi paket mana yang berisiko return to sender, lengkap dengan klasifikasi penyebabnya.
"RMS tidak hanya mencatat ketika paket gagal terkirim, tetapi juga menjelaskan mengapa hal itu terjadi – apakah karena alamat tidak valid, penerima tidak dapat dihubungi, atau kendala teknis pada ekspedisi," tuturnya.
Dengan informasi tersebut, seller bisa mengambil langkah korektif dengan cepat. Banyak kasus yang sebelumnya hampir pasti berakhir retur kini dapat diselamatkan berkat intervensi dini.
Menurut data Klarna, 84% pembeli tidak akan kembali berbelanja di toko yang pengalaman pengembalian produknya mengecewakan. Dengan memastikan proses retur tertangani dengan baik dan transparan, seller mampu menjaga hubungan baik dengan customer sekaligus melindungi brand trust yang telah dibangun.
"Kami percaya bahwa rendahnya angka retur bukan hanya soal teknologi, tapi tentang pemahaman mendalam terhadap tantangan seller di lapangan. RMS yang kami kembangkan adalah bentuk nyata dari komitmen KiriminAja untuk memberi kontrol penuh kepada seller atas proses logistik mereka," kata Fariz.
Dengan sistem ini, seller tidak hanya tahu kapan paket gagal terkirim, tapi juga mengapa dan bagaimana mengatasinya lebih awal. "Inilah yang membuat kami mampu menekan RTS," ujar dia.
Pengelolaan retur yang baik menjadi bagian esensial dari keberlangsungan bisnis online yang sehat. Bagi perusahaan, ini dapat meningkatkan kualitas layanan logistik – termasuk proses penanganan retur – sama pentingnya dengan meningkatkan kualitas produk yang dijual.Dengan memanfaatkan data dan antisipasi dini, banyak masalah pengiriman justru dapat disulap menjadi peluang perbaikan.
Editor : Tedy Ahmad