JAKARTA, iNewsBekasi.id - Adakah manusia yang tidak mau diperlakukan dengan hormat dan bermartabat? Adakah manusia yang tidak mengharapkan empati dan dukungan ketika tragedi atau kemalangan menimpa hidup. Semua menginginkannya, itu normal, dan manusiawi.
“Namun, apa yang akan terjadi jika respons dasar manusiawi ini dibajak oleh politik identitas? Kita akan diperlakukan kasar, diabaikan, dan tidak diperdulikan karena kita berasal dari ras dan kebangsaan yang berbeda,” sebut Ketua Umum Relawan Pendekar Indonesia Dr. Hendrawan Saragi lewat rilisnya, Jumat (1/4/2023).
Lebih jauh Hendrawan mengatakan, negara menghadapi masalah nyata dengan rasisme dan bentuk kefanatikan lainnya.
“Para politisi tidak mampu menahan diri dari mengungkapkan prasangka ras, asal lahir, atau prasangka irasional lainnya disaat bangsa kita secara aktif mendorong keberagaman dan inklusivitas. Mereka menganggap bahwa kita masih terjebak di tahun 1960-an (era Ganefo).
Ia berpendapat, tidak hanya salah mendiagnosis masalahnya, tetapi mereka mengusulkan solusi yang hanya akan memperburuk kefanatikan dan ketegangan ras di negara ini.
“Kita tidak akan pernah mencapai masyarakat yang toleran, apabila masih ada orang-orang yang berpikir bahwa karakteristik kita yang tidak dapat diubah-diperoleh dari sang Pencipta menentukan bagaimana kita dapat diperlakukan,” ujarnya.
Ditegaskan Saragi, sudah seharusnya tidak mendukung politisi yang kurang menghormati kemanusiaan. ketika tidak melihat kemanusiaan pada orang lain, memberikan tambahan kekuatan kepada para otoriter.
“Cara melawan otoritarianisme adalah dengan melihat kemanusiaan pada setiap orang. Martin Buber dalam karyanya yang paling terkenal, I and Thou, mengamati bahwa kita melihat dunia dalam salah satu dari dua cara mendasar: “I-Thou” atau “I-It”. Melihat orang lain sama pentingnya dengan diri sendiri adalah cara “Aku-Engkau”. Melalui kacamata “I-It”, orang lain dipandang sebagai objek yang lebih rendah yang membantu kita atau menjadi penghalang yang menghalangi jalan kita,” ungkapnya.
Pendekar Indonesia menilai bahwa kebutuhan negara kita adalah untuk tetap tenang, berdiri tegak, keluar dari kebingungan dan disorientasi serta ingatan yang tidak jelas.
“Mari kita mempertimbangkan bahwa ketenangan orang di dalam negeri lebih berharga daripada kedamaian orang lain di luar negeri. Kita tidak harus menciptakan masa lalu imajiner untuk bangga dengan negara kita. Kita tidak boleh mengabaikan realitas sejarah kita. Anak bangsa perlu memahami pentingnya akibat dari rasisme, antisemitisme, seksisme, dan ketidakadilan lainnya.
“Kita perlu memikirkan dan bertindak terhadap satu sama lain dalam hal gagasan dan cita-cita yang menjadi dasar negara ini didirikan, seperti yang diungkapkan dalam Konstitusi negara kita. Kita adalah individu-bukan sebagai kelompok suku dan ras maupun kelompok pilihan politik dengan hak hidup, kebebasan, dan pengejaran kebahagiaan yang tidak dapat direbut oleh siapapun. Peradaban kita bergantung, tidak hanya pada asal-usulnya tetapi juga pada pelestariannya yaitu tatanan kerja sama antar manusia,” terang Saragi.
Dalam kontestasi politik 2024 ini, kita perlu berdiri bersama memilih calon presiden yang mampu membungkam gema yang menakutkan dari sejarah dunia mengenai rasisme dan sudah terlihat rekam jejaknya tidak memberikan tempat bagi kebencian. Dinamika pemilihan di tahun politik ini telah menunjukkan karakter para kandidat calon presiden yang sebenarnya. Ada satu kandidat yang unik, yaitu Andika Perkasa, yang bukan merupakan politisi.
"Namun kami yakin bahwa kami bukan satu-satunya kelompok yang sudah melihat gayanya yang alami dan bukan sekedar propaganda politik, sangat tegas menunjukkan sisi kemanusiaan dalam setiap tindakan maupun keputusan strategis yang pernah diambilnya ketika masih menjabat sebagai pimpinan nasional. Tidak memusuhi ras dan agama melainkan memuliakan manusia, keluarga, dan institusi sosial serta berkomitmen menegakkan keadilan berdasarkan konstitusi,” jelas Hendrawan.
Andika Perkasa adalah seorang pria yang berpegang teguh pada prinsip dengan panggilan untuk mengabdi kepada masyarakat, dengan keberanian dan tak kenal lelah mampu mengakomodasi dinamika dan kekuatan politik yang mengancam menimbulkan kekerasan.
Andika Perkasa mengemban amanat selama 35 tahun mengabdi kepada bangsa dan negara sebagai prajurit TNI yang berusaha untuk mewujudkan satu kesatuan pertahanan negara guna mencapai tujuan nasional yaitu untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Andika Perkasa secara alami mendorong toleransi, keterbukaan pikiran, dan pada akhirnya kedamaian. Kedamaian mempromosikan kerjasama antar manusia. Saat kerja sama manusia berkurang dan kebencian meningkat maka kita semua akan menjadi sasaran kesusahan dari para otoriter. Oksigen bagi totaliter adalah kebencian terhadap perbedaan.
"Mari kita memilih pemimpin nasional yang kita percaya mampu membawa masyarakat Indonesia menjadi adil dan toleran," tutupnya.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait