"Jadi untuk menegakkan asas kemanfaatan tanah negara yang teralokasi sebagai area IUP di 7 wilayah Desa itu, maka tahap awal kami berupaya bertanya terkait pasal 13 ayat 4 Peraturan Menteri ESDM RI Nomor 7 tahun 2020 tentang tata cara pemberian wilayah, perizinan, dan pelaporan pada kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara. Aturan itu memuat tentang peta wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) atau wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) sebagaimana dimaksud pada ayat (2)," jelasnya.
Arman menegaskan, dengan adanya keterbukaan informasi publik yang dijamin oleh UU Nomor 14 tahun 2008 maka pihaknya bertanya beberapa hal kepada Pemerintah dimulai dari pemerintahan Desa lalu kepada Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Menteri Agraria Tata Ruang/BPN sampai kepada Panitia Kerja Pengukuran Ulang HPL, HGU, HGB, Hak Pakai dan Tanah Terlantar Komisi II DPR.
Pertama, apakah secara administratif pemerintahan Desa bisa terlihat dengan baik apakah tanah negara yang menjadi area IUP seperti yang dimiliki PT Solusi Bangun Indonesia (SBI) anak perusahaan Semen Indonesia sejak dari PT Semen Djonggol tahun 1971 bersama badan hukum lainnya ada atau tidak tercatat atau terdokumentasi dengan baik/tertib pada administrasi Desa.
Kedua, berapa luasan IUP PT SBI atau badan hukum lain. Ketiga, berapa luas/bidang area IUP yang sudah tersertifikasi dengan memiliki nomor Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) PBB yang umum sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Keempat, seberapa luas area yang sudah dikelola PT SBI atau badan hukum lain menjadi area eks (bekas) IUP. Kelima, apakah pada setiap PT SBI atau badan hukum lainnya melakukan perpanjangan IUP ada area yang dilepaskan menjadi tanah negara bebas untuk kemudian bisa dimohonkan pensertifikatannya oleh masyarakat layaknya seperti lazim berlaku pada pemegang Sertifikat Hak Guna Usaha (SHGU).
"Kami berharap keadilan terkait pemerolehan tanah negara bagi rakyat bukan semata dimonopoli perusahaan. Agar perkembangan tempat dan sumber hidup rakyat bisa eksis mengikuti perkembangan peradaban. Itu idealnya harus terakomodasi dengan baik. Maka P2R2 berupaya mematuhi mekanisme aturan untuk menyikapi rasa tidak adil itu. Tanah negara tersebut tidak mutlak seumur hidup menjadi area IUP," tandasnya.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait