Dia menilai kasus yang dialami kliennya merupakan bentuk kriminalisasi yang kerap terjadi di kalangan kurator dalam kasus kepailitan atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). "Ini menjadi suatu hal yang positif sekali dalam proses hukum dan bisa menjadi preseden bagi para kurator karena belakangan ini banyak kurator terkena kasus hukum seperti klien kami," jelasnya.
Menurutnya, sejak awal proses PKPU, ketiga kurator tersebut sudah melakukan proses PKPU sesuai aturan yang berlaku dalam UU Kepailitan dan PKPU. "Kami meyakini proses ini sejak awal tidak ada masalah, tapi karena ada laporan dan penyidik melakukan proses hukum, itu kami hargai sebagai sebuah proses pencarian keadilan," urainya.
Nahot pun menjelaskan duduk perkara kliennya sampai diduga melakukan penggelembungan piutang.
Awalnya, Ranto, Astro dan Delight ditunjuk berdasar putusan pengadilan sebagai kurator atau pengurus yang melakukan proses PKPU. "Dimana klien kami pada saat itu masuk proses PKPU berdasar putusan pengadilan, dimana putusan pengadilan itu diajukan oleh 2 kreditur dari Humpuss Grup dengan nilai tagihan Rp172 miliar saat permohonan pengajuan pkpu, dan diputuskan hakim untuk masuk ke proses PKPU," ungkapnya.
Sejalan proses PKPU, para kreditur diminta mengajukan pendaftaran tagihan untuk proses verifikasi. Dimana kreditur mengajukan tagihan pokok dengan bunga dan denda yang jumlahnya tembus Rp414 Miliar.
"Tagihan itu sejak tahun 2013 sampi 2021, sudah 8 tahun, dengan kesepakatan bunga 18% pertahun. Jadi disitulah ada bahasa penggelembungan.
Padahal, bukan penggelembungan itu faktanya.," tegasnya.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait