JAKARTA, iNewsBekasi.id - Cara menghindari riba agar tidak berdosa penting diketahui umat Islam. Riba secara etimologi punya arti tambahan atau al fadhl waz ziyadah (Lihat Al-Mu’jam Al-Wasith, 350 dan Al-Misbah Al-Muniir, 3: 345). Riba juga dapat berarti bertambah dan tumbuh (zaada wa namaa). (Lihat Al-Qamus Al-Muhith, 3: 423)
Contoh penggunaan pengertian riba semacam ini yakni pada firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ
"Maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bertambah dan tumbuh subur.” (QS Fushilat: 39 dan Al Hajj: 5)
Sementara secara terminologi, para ulama berbeda dalam mengungkapkannya. Di antara definisi riba yang bisa mewakili definisi yang ada adalah penjelasan dari Muhammad Asy-Syirbiniy. Riba adalah:
عَقْدٌ عَلَى عِوَضٍ مَخْصُوصٍ غَيْرِ مَعْلُومِ التَّمَاثُلِ فِي مِعْيَارِ الشَّرْعِ حَالَةَ الْعَقْدِ أَوْ مَعَ تَأْخِيرٍ فِي الْبَدَلَيْنِ أَوْ أَحَدِهِمَا
"Suatu akad/transaksi pada barang tertentu yang ketika akad berlangsung tidak diketahui kesamaannya menurut ukuran syariat, atau adanya penundaan penyerahan kedua barang atau salah satunya." (Mughni Al-Muhtaj, 6: 309)
Ada juga definisi lainnya seperti yang dikemukakan Ibnu Qudamah, riba adalah:
الزِّيَادَةُ فِي أَشْيَاءَ مَخْصُوصَةٍ
"Penambahan pada barang dagangan/komoditi tertentu." (Al-Mughni, 7: 492)
Dilansir dari Okezone, berikut cara menghindari riba agar tidak berdosa, seperti dipaparkan dai muda asal Yogyakarta Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal M.Sc:
1. Tidak mudah berutang
Islam menerangkan agar umat manusia tidak terlalu bermudah-mudahan untuk berutang. Orang yang berutang dan enggan melunasinya –padahal mampu– sungguh sangat tercela.
Dari Ibnu Umar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِىَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ
"Barang siapa yang mati dalam keadaan masih memiliki utang 1 dinar atau 1 dirham, maka utang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham." (HR Ibnu Majah nomor 2414. Syekh Al Albani mengatakan hadits ini shahih)
Dari Shuhaib Al Khoir, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا رَجُلٍ يَدَيَّنُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لاَ يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِىَ اللَّهَ سَارِقًا
"Siapa saja yang berutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) dalam status sebagai pencuri." (HR Ibnu Majah nomor 2410. Syekh Al Albani mengatakan hadits ini hasan shahih)
Berutanglah ketika perlu dan yakin mampu melunasinya! Karena kita pun tidak mengetahui kondisi kita nantinya, apakah kita bisa melunasi kreditan kita.
2. Berilmu dulu sebelum membeli
Dalam bertindak, Islam selalu mengajarkan berilmulah terlebih dahulu. Dalam masalah ibadah, Islam mengajarkan hal ini agar amalan seseorang tidak sia-sia.
Dalam muamalah pun demikian. Sebab jika tidak diterapkan, bisa terjerumus dalam sesuatu yang diharamkan.
Misalnya seorang pedagang, hendaklah paham seputar hukum jual beli. Jika tidak memahaminya, bisa jadi dia memakan riba atau menikmati rezeki dengan cara yang tidak halal. 'Ali bin Abi Thalib mengatakan:
مَنْ اتَّجَرَ قَبْلَ أَنْ يَتَفَقَّهَ ارْتَطَمَ فِي الرِّبَا ثُمَّ ارْتَطَمَ ثُمَّ ارْتَطَمَ
"Barang siapa yang berdagang namun belum memahami ilmu agama, maka dia pasti akan terjerumus dalam riba, kemudian dia akan terjerumus ke dalamnya dan terus menerus terjerumus."
Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu juga berkata:
لَا يَتَّجِرْ فِي سُوقِنَا إلَّا مَنْ فَقِهَ أَكْلَ الرِّبَا
"Janganlah seseorang berdagang di pasar kami sampai dia paham betul mengenai seluk beluk riba." (Lihat Mughnil Muhtaj, 6: 310)
Hal di atas bukan hanya berlaku bagi penjual atau si pedagang, namun berlaku juga untuk pembeli. Pembeli pun harus tahu seluk beluk jual beli sebelum bertindak. Sedikit sekali nasabah perkreditan rumah, mobil atau motor yang mengetahui bagaimanakah hakikat sebenarnya jual beli kredit yang mereka lakukan.
Awalnya rumah tersebut ditawarkan oleh pihak A, namun urusan pelunasan nantinya di bank perkreditan. Ini hakikatnya bisa jadi transaksi riba atau menjual barang yang belum dimiliki secara sempurna.
Jika menilik transaksi tersebut, pihak perkreditan pada hakikatnya memberikan pinjaman kepada kita yang ingin membeli rumah, lalu mereka meminta kita mengembalikan pinjaman tadi secara berlebih. Padahal para ulama sepakat, "Setiap utang yang ditarik keuntungan, maka itu adalah riba."
Coba dari awal si nasabah atau si pembeli tadi mengetahui pengertian riba dan berbagai macam bentuk riba. Lalu saat ini perlu sekali setiap orang mendalami hakikat riba karena riba makin diakal-akali dengan nama yang terlihat syari. Minimal, banyaklah bertanya kepada para ulama yang lebih berilmu sehingga selamat dari riba hingga debu-debunya.
3. Mengetahui bahaya riba
Setelah mengetahui definisi riba dan berbagai bentuknya, mengetahui bahaya riba akan makin membuat seorang Muslim menjauhinya transaksi haram tersebut. Sebab dengan mengetahui ancaman-ancaman riba, tentu ia enggan terjerumus dalam riba.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
دِرْهَمُ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةِ وَثَلاَثِيْنَ زَنْيَةً
"Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari transaksi riba sedangkan dia mengetahui, lebih besar dosanya daripada melakukan perbuatan zina sebanyak 36 kali." (HR Ahmad 5: 225. Syekh Al Albani mengatakan hadits ini shahih sebagaimana dalam As-Silsilah Ash-Shahihah nomor 1033)
Dalam hadits yang lain disebutkan:
الرِبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا أيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرُّجُلُ أُمَّهُ وَإِنْ أَرْبَى الرِّبَا عِرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ
"Riba itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri. Sedangkan riba yang paling besar adalah apabila seseorang melanggar kehormatan saudaranya." (HR Al Hakim dan Al Baihaqi dalam Syu'abul Iman. Syekh Al Albani mengatakan hadits ini shahih dilihat dari jalur lainnya)
Dosa riba bukan hanya berlaku bagi kreditur, pihak perkreditan atau bank, namun si nasabah atau debitur juga mendapatkan dosa. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
"Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), orang yang menyerahkan riba (nasabah), pencatat riba (sekretaris), dan dua orang saksinya." Beliau mengatakan, "Mereka semua itu sama (karena sama-sama melakukan yang haram)." (HR Muslim nomor 1598)
4. Memperbanyak doa
Jangan terlupakan adalah memperbanyak doa. Karena bisa terhindar dari yang haram, tentu saja dengan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta'ala, termasuk masalah riba. Di antara doa yang bisa dipanjatkan:
اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَتَرْكَ الْمُنْكَرَاتِ
"Allahumma inni as-aluka fi’lal khoiroot, wa tarkal munkaroot (Ya Allah, aku memohon kepada-Mu untuk mudah melakukan berbagai kebajikan dan meninggalkan berbagai kemungkaran)." (HR Tirmidzi nomor 3233, dari Ibnu 'Abbas. Syekh Al Albani mengatakan hadits ini shahih)
Juga perbanyaklah doa agar bisa terbebas dari utang:
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ
"Allahumma inni a'udzu bika minal ma'tsami wal maghrom (Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari dosa dan terlilit utang)."
Dalam lanjutan hadits tersebut disebutkan bahwa ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kenapa beliau banyak meminta perlindungan dari utang? Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ، وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ
"Seseorang yang terlilit utang biasa akan sering berdusta jika berucap dan ketika berjanji sering diingkari." (HR Bukhari nomor 832 dan Muslim: 589)
5. Punya sifat qona'ah
Tidak merasa cukup atau tidak memiliki sifat qona'ah, itulah yang membuat orang ingin hidup mewah-mewahan. Padahal penghasilannya biasa, namun sebab ingin seperti orang kaya yang memiliki smartphone mahal, mobil mewah dan rumah layak istana; akhirnya jalan kreditlah yang ditempuh.
Kebanyakan kredit yang ada tidak jauh-jauh dari riba, bahkan termasuk pula yang memakai istilah syari sekalipun seperti murabahah. Menggunakan ponsel biasa asalkan bisa berkomunikasi, atau menggunakan motor yang memang lebih pas untuk keadaan jalan di negeri kita yang tidak terlalu lebar, atau hidup di rumah kontrakan, sebenarnya terasa lebih aman dan selamat dari riba untuk saat ini.
Cobalah belajar untuk memiliki sifat qona'ah, selalu merasa cukup dengan rezeki yang Allah Subhanahu wa Ta'ala anugerahkan, maka tentu tidak selalu melihat indahnya rumput di rumah tetangga karena taman di rumah sendiri pun masih terasa sejuk.
Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
"Kaya bukanlah diukur dengan banyaknya kemewahan dunia. Namun kaya (ghina') adalah hati yang selalu merasa cukup." (HR Bukhari nomor 6446 dan Muslim:1051)
Kata para ulama, "Kaya hati adalah merasa cukup pada segala yang engkau butuh. Jika lebih dari itu dan terus engkau cari, maka itu berarti bukanlah ghina (kaya hati), namun malah fakir (hati yang miskin)." (Lihat Fathul Bari, 11: 272)
Jika seorang Muslim memperhatikan orang di bawahnya dalam hal dunia, itu pun akan membuat makin bersyukur atas rezeki Allah Subhanahu wa Ta'ala dan akan selalu merasa cukup.
Berbeda halnya jika yang memperhatikan selalu orang yang lebih dari dirinya dalam masalah harta. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ
"Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu (dalam masalah ini). Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu." (HR Muslim nomor 2963)
Orang yang memiliki sifat qana'ah sungguh terpuji. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ
"Sungguh sangat beruntung orang yang telah masuk Islam, diberikan rezeki yang cukup dan Allah menjadikannya sifat qana'ah (merasa puas) dengan apa yang diberikan kepadanya." (HR Muslim nomor 1054)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri selalu memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar dianugerahkan sifat qana’ah dalam doanya:
اللَّهُمَّ إنِّي أسْألُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى
"Allahumma inni as-alukal huda wat tuqo wal ‘afaf wal ghina (Ya Allah, aku meminta pada-Mu petunjuk, ketakwaan, diberikan sifat 'afaf –terhindar dari yang haram– dan sifat ghina –selalu merasa cukup)." (HR Muslim nomor 2721)
Wallahu a'lam bisshawab.
Editor : Eka Dian Syahputra