Adapun ulama belakangan –semoga Allah beri taufik pada mereka- yang melarang perbuatan ini beralasan karena kemaluan adalah tempat keluarnya najis seperti kencing. Maka tentu saja seperti itu tidak boleh dicium.
Alasan seperti ini cukup disanggah bahwa yang dimaksud boleh mencium kemaluan adalah ketika keadaan suci, bukan ketika telah keluar najis. Karena jika sudah ada najis, tentu wajib dibersihkan (istinja’) dan dicuci.
Jika sudah dicuci dan telah berwudhu, tentu keadaannya Allah terima sebagai bagian tubuh yang suci.
Kesimpulannya, mencium kemaluan pasangan pada saat suci (bersih), dibolehkan. Sedangkan jika telah keluar najis, maka tentu tidak ada satu ulama pun yang membolehkannya karena perbuatan seperti ini telah keluar dari tabiat manusia normal.” (Sumber fatwa: Islamway).
Namun disarankan cara seks oral sebaiknya dijauhi apalagi mengingat ulama lainnya melarang keras perbuatan ini karena termasuk tasyabbuh (meniru-niru) gaya seksual barat atau non muslim.
Selain itu perilaku semacam ini terdapat bahaya dari sisi kesehatan. "Kata seorang konsultan seks, dr Ferryal Loetan, ASC&T, MMR, SpRM, M.Kes menyatakan di dalam mulut terdapat banyak air liur yang dapat menularkan penyakit.
Sebab di dalam air liur manusia, terdapat beberapa kuman dan bakteri. Demikian pula dengan berbagai macam jamur, yang biasa menempel di tubuh manusia. Ketiganya bisa mengakibatkan penyakit saat kita melakukan oral seks,” bebernya.
Di samping itu, hasil survey menunjukkan bahwa 50 % laki - laki yang melakukan oral seks menderita kanker mulut. Penyakit yang diderita oleh pelaku oral seks bisa jadi adalah herpes di mulut atau alat kelamin, chlamydia dan gonorrhea menyerang bagian tenggorokan, HIV, HPV, sipilis, dan Hepatitis A. Mengerikan! (Sumber: oktyana.com).
Jika seks oral membawa dampak bahaya seperti ini, maka sudah sepantasnya dijauhi karena mengingat sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لا ضَرَرَ ولا ضِرارَ
“Tidak boleh memulai memberi dampak buruk (mudhorot) pada orang lain, begitu pula membalasnya.” (HR. Ibnu Majah no. 2340, Ad Daruquthni 3: 77, Al Baihaqi 6: 69, Al Hakim 2: 66. Kata Syaikh Al Albani hadits ini shahih).
Editor : Vitrianda Hilba Siregar