Dibutuhkan orang yang benar benar mengetahui masalah penanganan konflik dan kearifan lokal harus benar benar dipahami baik. “Karena apa? Akan menambah masalah baru, bila pada daerah daerah rawan konflik ditempatkan orang yang tidak tepat dalam memegang pemerintahan disana tentunya,” ujar Djohermansyah menjelaskan.
Menurut Djohermansyah, bisa jadi pembuat undang undang No 10/ 2016, tentang pilkada tidak mengantisipasi dan mengkaji dengan cermat keadaan keadaan ini, ditambah kurangnya awareness pemerintah dalam menyikapi persoalan ini. Itu sebabnya pakar pemerintahan daerah yang tergabung dalam Institut Otonomi Daerah (i-OTDA) mendalami secara cermat apa apa saja akibat yang akan ditimbulkan kedepan, bila kekosongan jabatan kepala daerah pada 2022 -2024 diisi dari ASN.
Permasalahan yang akan muncul bila kepala daerah yang habis di bulan Mei 2022 hingga 2024 bila jabatan kepala daerah diserahkan pada ASN bisa jadi mereka tidak fokus memimpin wilayah yang hilang kepemimpinan definitifnya “Ketidak fokusan itu bisa terjadi, bila jabatan tersebut diserahkan pada ASN. Kenapa begitu ? Karena ASN memiliki kewenangan terbatas disamping ASN tidak boleh melepas jabatan strukturalnya di ASN,” ujar Djohermansyah.
Persoalan lain yang akan dihadapi Pj kepala daerah dari ASN, yaitu bila terlalu lama tentu mereka akan menangani APBD, dimana ASN harus berhadapan dengan para politisi daerah di DPRD untuk pembahasan anggaran. Hal ini tentu akan menjadi kendala besar dimana ASN tidak di training untuk urusan politik praktis.
Editor : Vitrianda Hilba Siregar