Kerap di Demo Ratusan Buruh, Ini Penjelasan Manajemen Yamaha soal PHK 2 Pegawai

BEKASI, iNewsBekasi.id- Ketegangan mewarnai unjuk rasa ratusan buruh di depan PT Yamaha Music Manufacturing Asia (YMMA), kawasan industri MM2100, Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, pada Kamis (3/7/2025). Buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) itu kembali turun ke jalan menyuarakan protes terhadap pemutusan hubungan kerja (PHK) dua pimpinan serikat pekerja di perusahaan tersebut.
Aksi ini menjadi babak baru dalam konflik ketenagakerjaan yang telah berlangsung sejak akhir 2024. Di tengah panasnya terik matahari, massa buruh memadati gerbang pabrik dengan membawa mobil komando, pengeras suara, hingga musik yang disetel kencang.
Beberapa buruh bahkan tampak berjoget di jalan masuk pabrik, membuat situasi sempat tegang dan nyaris memicu bentrok dengan petugas keamanan perusahaan dan aparat kepolisian yang berjaga ketat.
“PHK ini bukan hanya soal dua orang. Ini bentuk serangan terhadap kebebasan berserikat,” seru salah satu orator dalam aksinya.
Massa menuntut pembatalan PHK terhadap Slamet Bambang Waluyo dan Wiwin Zaini Miftah—Ketua dan Sekretaris Pimpinan Unit Kerja (PUK) SPEE FSPMI PT YMMA. Selain itu, mereka juga menuntut pencabutan surat peringatan terhadap anggota serikat, pengembalian potongan upah yang dinilai sepihak, dan realisasi kenaikan upah tahun 2025 yang belum disepakati.
Menanggapi aksi tersebut, manajemen PT YMMA angkat bicara. Dalam pernyataan resminya, Direktur Human Resources YMMA, Lili Gunawan menegaskan, PHK terhadap Slamet dan Wiwin dilakukan berdasarkan perjanjian kerja bersama (PKB) dan disertai pelaporan ke kepolisian atas dugaan pelanggaran hukum.
“Awalnya ini soal perundingan upah 2024 yang tidak menemui kesepakatan. Prosesnya sudah melalui bipartit dan mediasi tripartit dengan Disnaker. Namun saat mediasi berjalan, mereka justru menggelar aksi-aksi yang mengganggu operasional perusahaan,” jelas Lili.
Menurut Lili, puncak gangguan terjadi pada Oktober 2024, saat massa aksi menutup akses keluar masuk pabrik. Akibatnya, kendaraan operasional tak bisa beroperasi, dan sejumlah karyawan—termasuk yang sedang sakit, hamil, atau menyusui—tidak bisa pulang.
“Ini berdampak besar, bahkan karyawan yang menunggu terlalu lama kami beri makanan tambahan. Situasi ini kami anggap sudah merugikan, maka kami laporkan ke kepolisian. Total ada tiga orang dilaporkan, termasuk dua yang kini di-PHK,” ujarnya.
YMMA menyatakan telah mengalami kerugian produksi hingga Rp50 miliar akibat rentetan aksi sejak Maret 2025. Biaya tetap seperti bus karyawan dan upah tetap berjalan meskipun tidak ada produksi.
“Kami ini perusahaan manufaktur. Kalau tidak bisa produksi, tidak ada barang yang dijual, maka tidak ada pemasukan untuk membayar gaji,” kata Lili.
Ia menekankan, kawasan industri MM2100 merupakan Objek Vital Nasional, sehingga aksi unjuk rasa sebenarnya dilarang oleh Undang-Undang.
Pihak perusahaan mengaku telah membawa kasus ini ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dan memilih menunggu putusan hukum. Namun di lapangan, massa buruh tetap melanjutkan aksi.
Terakhir, mereka menggelar demonstrasi besar pada Senin, 23 Juni 2025, yang kembali membuat jalan di depan pabrik lumpuh.
Koordinator Aliansi Buruh Bekasi Melawan, Sarino, menuturkan, tuntutan mereka tidak berubah yakni, cabut PHK terhadap Slamet dan Wiwin. Ia juga menyebut bahwa manajemen perusahaan enggan membuka ruang dialog secara adil.
“Ini sudah berkali-kali kami suarakan. Kalau terus dibiarkan, konflik bisa makin meledak. Ini bukan perlawanan dua orang, ini perjuangan buruh,” katanya.
Di tengah panasnya situasi, manajemen YMMA berharap pemerintah dan aparat keamanan bisa menjamin stabilitas kawasan industri. Perusahaan membuka pintu untuk dialog, tetapi menolak cara-cara yang dinilai melanggar hukum.
“Demo adalah hak, tapi kalau sampai menutup akses dan mengganggu produksi, siapa yang rugi? Bukan hanya perusahaan, tapi juga rekan-rekan karyawan yang ingin bekerja,” ujar Lili.
Hingga berita ini diturunkan, mediasi lanjutan masih ditunggu dan keputusan PHI menjadi penentu jalan keluar atas konflik yang telah berlangsung hampir sembilan bulan ini.
Editor : Wahab Firmansyah