JAKARTA, iNew.id - Kurs rupiah terus mengalami pelemahan dalam beberapa waktu terakhir. Terpantau di pasar spot pagi ini, kurs rupiah telah menembus level Rp15.000 per 1 dolar Amerika Serikat.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira mengungkapkan potensi pelemahan rupiah semakin terbuka, sehingga perlu segera mendapat perhatian dari semua pihak.
Hal itu lantaran dampaknya dapat memicu ekses negatif ke perekonomian Indonesia.
"Rupiah secara psikologis berisiko melemah ke Rp15.500 - Rp16.000 dalam waktu dekat. Tekanan akan terus berlanjut dan tergantung dari respon kebijakan moneter," kata Bhima saat dihubungi MNC Portal Indonesia pada, Rabu (6/7/2022).
Sejumlah risiko mulai membayangi ekonomi domestik ketika pemerintah tak kunjung sigap dalam memitigasi persoalan tersebut.
Bhima menilai upaya Bank Indonesia (BI) untuk menahan suku bunga acuan di 3,5% dapat meningkatkan risiko di pasar.
Kondisi likuiditas di dalam negeri dapat semakin ketat apabila pelemahan kurs terus terjadi, sejalan dengan adanya tekanan arus keluar modal asing.
"Ada perfect storm atau badai yang sempurna sedang mengintai ekonomi Indonesia," terangnya.
Bagaimana Nasib dari Sektor Swasta
Kurs Rupiah yang melemah ini dikhawatirkan juga dapat memicu imported inflation atau kenaikan biaya impor terutama pangan.
Bhima menilai sejauh ini imported inflation belum dirasakan karena produsen masih menahan harga di tingkat konsumen.
Di sisi lain, ketika beban biaya impor naik secara signifikan, maka selisih kursnya dapat berimbas terhadap konsumen.
"Beban utang luar negeri sektor swasta juga dapat meningkat, karena pendapatan sebagian besar diperoleh dalam bentuk rupiah sementara bunga dan cicilan pokok berbentuk valas," ungkapnya.
Di sektor swasta, Bhima menuturkan perusahaan dapat melakukan sejumlah langkah untuk memitigasi pelemahan kurs, salah satunya efisiensi operasional.
Namun, tidak semua perusahaan swasta yang punya utang luar negeri dapat melakukan hedging alias lindung nilai.
Lantas Bagaimana Indonesia Harus Menyikapinya?
Melemahya rupiah dapat mendorong percepatan kenaikan suku bunga acuan. Menurut Bhima, BI perlu segera menaikkan 25-50 bps suku bunga untuk menahan aliran modal keluar.
Namun, ada ancaman tersendiri apabila suku bunga dinaikkan. Hal yang menjadi dilema adalah saat suku bunga naik, maka cicilan KPR dan kendaraan bermotor bisa lebih mahal.
"Menaikkan suku bunga acuan dapat berimbas kepada pelaku usaha korporasi, UMKM maupun konsumen," bebernya.
Bhima menyatakan bahwa Indonesia perlu mempersiapkan diri dalam skenario yang terburuk. Menurutnya, saat inflasi naik tapi konsumen tidak siap, maka dapat membuat daya beli masyarakat terkontraksi.
Tak hanya itu, pendapatan dari ekspor komoditas yang selama ini menopang surplus perdagangan bisa berbalik arah (harga CPO dan batubara mulai menurun sebulan terakhir).
"Masyarakat harus segera lakukan ikat pinggang, atur dana darurat, dan alihkan investasi ke aset yang aman baik dollar maupun emas. Kita tidak tahu secara pasti, apakah 2 tahun kedepan resesi akan berakhir karena seluruh negara sedang mempersiapkan cadangan pangan secara agresif," tandasnya.
Defisit APBN melebar sehingga beban untuk pembayaran bunga utang terutama SBN meningkat tajam.
Editor : Fatiha Eros Perdana
Artikel Terkait