Tak Ada Mens Rea? Politisi Senior Buka Suara Soal Kasus Chromebook Nadiem

Wahab Firmansyah
Mantan Mendikbudristek Nadiem Makarim. Foto/Dok

JAKARTA, iNewsBekasi.id- Sejumlah tokoh  mulai dari politisi hingga praktisi pendidikan, menyampaikan pandangan mengenai persoalan yang tengah menjerat mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim.  

Nadiem terseret dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook yang menurut Kejaksaan Agung diduga menimbulkan kerugian negara sebesar Rp1,98 triliun.

Politisi senior Laksamana Sukardi menilai tidak terdapat indikasi niat jahat dalam proses pengadaan yang dilakukan saat itu.

“Kalau dia (Nadiem) memang sudah mengajak Jamdatun dari Kejagung untuk ikut mengawasi prosesnya itu kan berarti tidak ada mens rea (niat jahat)-nya,” ujar Laksamana Sukardi dalam sebuah podcast yang diunggah akun Instagram @infoduniaa dikutip pada Senin (8/12/2025).

Ia juga menyampaikan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah melakukan audit dan laporan tersebut tidak menemukan adanya kerugian negara. Menurutnya, keputusan penggunaan Chromebook merupakan bagian dari mandat dan kewenangan menteri saat itu.

“Cuma mungkin karena microsoft yang biasanya menjadi supplier, tapi karena harganya lebih mahal diambil Chrome. Dengan mengambil keputusan menggunakan Chrome negara dihemat, hemat berapa juta dollar,” jelasnya.

Sementara itu, praktisi pendidikan Ina Liem melalui akun Instagram @inaliem18 membagikan rangkaian flyer bertajuk “Membaca Potensi Politisasi dan Kriminalisasi Nadiem: Apakah Reformasi Nadiem Sedang Diputar Balik?” Dalam unggahannya, Ina merangkum sejumlah perubahan yang menurutnya terjadi selama empat tahun kepemimpinan Nadiem.

Ia menyebut reformasi tersebut mencakup pelatihan guru gratis di Platform Merdeka Mengajar (PMM), rekrutmen besar-besaran guru PPPK dari honorer, seleksi kepala sekolah berbasis kompetensi, penggantian Ujian Nasional (UN) menjadi Asesmen Nasional, serta penyediaan buku digital gratis tanpa kewajiban membeli versi cetak.

Menurut Ina, berbagai reformasi itu berdampak pada sejumlah pihak, mulai dari kelompok kepentingan di daerah, industri buku dan penyedia konten, penyelenggara pelatihan berbayar, hingga oknum yang selama ini mengatur guru honorer dan industri bimbingan belajar.

Ia menyebut munculnya pola baru pada 2024–2025, seperti pelatihan guru kembali berbayar, syarat kepala sekolah dilonggarkan, kewajiban pembelian buku cetak, serta hadirnya Tes Kemampuan Akademik (TKA) yang menggantikan semangat UN. Ina menilai perubahan tersebut justru menggeser sejumlah reformasi yang pernah diperkenalkan.

Ketika reformasi tersebut berhenti, lanjutnya, kualitas guru berpotensi stagnan, jabatan kepala sekolah kembali rentan intervensi, dana BOS rawan dijadikan proyek, inovasi pembelajaran melambat, dan kesenjangan daerah makin melebar.

Ina juga berpendapat bahwa Nadiem mudah dipolitisasi karena beberapa faktor, seperti tidak berasal dari politik lama, memiliki popularitas di kalangan anak muda, serta membawa pendekatan data-driven yang dinilai mengganggu kenyamanan pihak tertentu.

Dalam unggahan akhirnya, ia menegaskan bahwa tulisannya bukan bertujuan membela figur tertentu, melainkan membaca pola dinamika yang terjadi. "Ini untuk membaca pola. Kini, ketika sosok yang memulai reformasi besar tiba-tiba ditahan, padahal diberitakan tidak uang negara yang diambil," tulisnya.

"Publik wajar bertanya, apakah ini murni hukum, atau ada pertarungan kepentingan dibaliknya," ucapnya.

Editor : Wahab Firmansyah

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network