JAKARTA, iNews.id - Imam Al-Ghazali mengungkapkan kelompok orang-orang kaya yang tertipu. Mereka senang menumpuk dan menyimpan harta kekayaan itu. Di sisi lain, mereka menyibukkan diri dengan ibadah-ibadah yang tak memerlukan biaya, seperti berpuasa di siang hari, melakukan salat malam, hingga mengkhatamkan Al-Qur'an.
"Sebenarnya orang-orang seperti ini tertipu, sebab kebakhilan yang sangat merusak telah menguasai relung batiniah mereka. Seharusnya dia dapat memasuki ketinggian derajat dengan menafkahkan harta kekayaannya, tetapi dia sibuk mencari suatu kelebihan yang sepatutnya tidak perlu dia lakukan," tutur Al-Ghazali yang dikutip Syaikh Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Fiqh Prioritas, Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah".
Perumpamaan orang seperti ini adalah seperti orang yang pakaiannya dimasuki ular dan hampir binasa, tetapi dia masih menyibukkan diri dengan memasak jamu untuk menyembuhkan penyakit kuningnya. "Lalu, apakah orang yang mendekati kehancuran karena diracuni oleh ular masih memerlukan jamu?" tanyanya.
Oleh sebab itu, ketika ada seseorang yang berkata kepada Bisyr, "Sesungguhnya Fulan yang kaya itu banyak melakukan puasa dan sholat."
Bisyr berkata kepadanya, "Kasihan, dia meninggalkan urusannya sendiri dan memasuki urusan orang lain. Sesungguhnya lebih baik bagi dirinya untuk memberikan makanan kepada orang-orang yang kelaparan, dan menafkahkan hartanya untuk orang-orang miskin daripada dia melaparkan dirinya sendiri, dan melakukan sholat untuk kepentingan dirinya. Untuk apa dia mengumpulkan dunia dan menahan harta kekayaan itu dari fakir miskin?"
Haji Sunnah
Sesuatu yang dianggap aib oleh Imam al-Ghazali dalam perilaku orang-orang kaya umat ini ialah bahwa sesungguhnya mereka sangat berambisi membelanjakan uangnya untuk melakukan ibadah haji. Sehingga mereka melakukan ibadah haji berkali-kali, dan bahkan mereka meninggalkan tetangga-tetangganya kelaparan.
Oleh sebab itu, Ibn Mas'ud berkata, "Pada akhir zaman nanti banyak orang yang melakukan ibadah haji tanpa sebab. Mereka begitu mudah melakukan perjalanan ke Mekkah, mempunyai rezeki yang melimpah, tetapi mereka pulang kembali ke tanah airnya dalam keadaan miskin dan tidak punya apa-apa. Hingga ada salah seorang di antara mereka yang untanya tersesat di tengah padang pasir, tetapi tetangganya yang ada di sampingnya terbelenggu dan dia tidak dapat memberikan pertolongan kepadanya."
Seakan-akan Ibn Mas'ud RA melihat kepada apa yang akan terjadi pada zaman kita sekarang ini melalui alam gaib dan memberikan ciri-cirinya Abu Nashr al-Tammar berkata, "Sesungguhnya ada seorang lelaki yang datang dan ingin mengucapkan selamat tinggal kepada Bisyr bin al-Harits sambil berkata "Aku telah berniat melakukan ibadah haji, barangkali engkau hendak memerintahkan sesuatu kepadaku."
Bisyr berkata kepadanya: "Berapa biaya yang telah engkau persiapkan untuk itu?" Dia menjawab, "Dua ribu dirham."
Bisyr berkata, "Apakah yang hendak engkau cari dalam hajimu? Karena zuhud, rindu kepada Baitullah, ataukah untuk mencari keridhaan Allah SWT?"
Dia menjawab, "Saya hendak mencari keridhaan Allah SWT."
Bisyr berkata, "Kalau engkau hendak mencari keridhaan Allah SWT, sementara engkau tetap berada di rumahmu dan membelanjakan dua ribu dirham itu (bukan untuk berhaji), serta engkau merasa yakin bahwa engkau akan dapat memperoleh keridhaan itu, maka apakah engkau akan melakukannya (haji) juga?"
Dia menjawab, "Ya."
Bisyr berkata, "Pergilah, dan berikan dua ribu dirham itu kepada sepuluh kelompok manusia ini: orang yang berutang agar dia dapat membayar utang-utangnya; orang miskin agar dia dapat bangkit kembali; orang yang menanggung pemeliharaan anggota keluarga yang banyak agar mereka tercukupi keperluannya; dan pengasuh anak yatim agar dia dapat menggembirakan mereka."
"Kalau hatimu kuat, berikanlah uang itu kepada salah satu kelompok tersebut, karena sesungguhnya usahamu untuk menggembirakan hati seorang Muslim, memberikan pertolongan kepada orang yang bersedih hati, menyelamatkan orang yang sedang dalam keadaan berbahaya, memberikan bantuan kepada orang yang lemah, adalah lebih baik daripada seratus kali haji yang dilakukan setelah haji wajib dalam Islam."
"Berdirilah dan berikanlah uang itu kepada mereka sebagaimana kami memerintahkan kepadamu. Jika tidak, maka katakanlah apa yang terdetik di dalam hatimu?"
Dia menjawab, "Wahai Abu Nashr, perjalananku lebih kuat dalam hatiku. "
Editor : Eka Dian Syahputra