“Dulu saya pernah overdosis di sekolah dan mereka harus memanggil ambulans,” lanjutnya. “Saya pernah melukai diri sendiri secara masif. Saya bahkan melarikan diri ke London, polisi menemukan saya dan harus membawa saya kembali,” ujarnya.
“Orang-orang tidak tahu mengapa saya [berperilaku] seperti saya saat itu. Banyak dari persahabatan saya rusak, dan kemudian saya mulai menjadi sangat terpukul dan pergi ke rumah sakit,” jelasnya.
Saat berusia 14 tahun, Tania mengalami trauma berat akibat pelecehan tersebut. Dia harus dirawat di bangsal psikiatri di Taunton dengan PTSD kompleks, anoreksia nervosa, dan depresi kronis. “Karena saya berada di rumah sakit untuk waktu yang lama, hampir tidak ada orang yang tetap berhubungan dengan saya,” ujarnya.
"Saya mungkin memiliki dua atau tiga teman yang tetap bersama saya untuk melalui semua itu,” lanjutnya. Ketika penyakit Tania semakin parah, dia dipindahkan pada usia 15 tahun ke unit yang aman di Slough, 150 mil jauhnya dari teman dan keluarga.
Di sana, dia diberi makan melalui selang selama tiga tahun karena PTSD dan anoreksianya yang memburuk. “Kejadian itu sangat traumatis... Rumah sakit mengatakan itu adalah kasus gangguan stres pasca-trauma terburuk yang pernah mereka lihat pada seorang anak,” terangnya.
“Di Plymouth, ada ibu saya yang bisa datang dan mengunjungi, tetapi ketika kondisi saya sangat buruk sehingga saya harus pergi ke London, Anda ditempatkan di bangsal ini tanpa seorang pun yang Anda kenal,” ujarnya. “Di unit yang aman Anda harus mandi dan pergi ke toilet dengan dua orang yang mengawasi Anda. Anda dilucuti dari martabat apapun,” terangnya.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta